Search

Home / Kolom / Opini

Setahun Jokowi-Ma'ruf: Pandemi COVID-19 Sebagai Tantangan

   |    25 Oktober 2020    |   21:02:46 WITA

Setahun Jokowi-Ma'ruf: Pandemi COVID-19 Sebagai Tantangan
Presiden Joko Widodo-KH Maruf Amin. (Foto: Istimewa)

Setahun berlalu tanpa terasa. Tepat 20 Oktober 2020, duet kepemimpinan Presiden Joko Widodo-KH Maruf Amin memasuki tahun pertama. Semua berjalan begitu cepat, nyaris tak berhenti berita besar menyertai perjalanan pemerintahan yang bertajuk ‘Indonesia Maju’ ini.

Di antara berbagai isu nan menyeruak itu: dari persiapan ibu kota baru, diluncurkannya program-program bantuan sosial dan ekonomi serta Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja sebagai perwujudan pidato Presiden Jokowi pada pelantikannya di Gedung MPR RI, 20 Oktober 2019.

Namun headline utama yang terjadi pada setahun pertama pemerintahan Presiden Jokowi – Maruf Amin tentu saja hadirnya COVID-19 sang ‘gamechanger’.

Pandemi ini turut mempengaruhi berbagai rencana dan program. Pelambatan aktivitas dan roda ekonomi terasa sejak pertengahan Maret hingga akhir tahun. Prioritas anggaran digeser, tertumpu pada penanganan penyebaran dan dampak COVID-19 serta ‘penyelamatan’ ekonomi nasional.

Namun Presiden Jokowi tidak pernah mengabaikan janjinya. Meski laju pertumbuhan ekonomi sempat tersendat, tapi Presiden Jokowi tetap memegang visi mewujudkan lima arahan strategis menuju masyarakat Indonesia mandiri, maju, adil dan makmur, yang terdiri dari:

  1. Pembangunan Sumber Daya Manusia;
  2. Pembangunan Infrastruktur;
  3. Penyederhanaan Regulasi;
  4. Penyederhanaan Birokrasi; dan
  5. Transformasi Ekonomi.

Refocusing dan realokasi anggaran memprioritaskan program dan penanganan di bidang kesehatan, pemulihan sosial dan ekonomi - terutama untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah serta Koperasi. Namun lima arahan pembangunan tetap menjadi pilar bagi Visi Indonesia 2045 demi memastikan Indonesia menjadi negara maju.

Kita tentu masih terkenang akan ucapan tegas Presiden Jokowi pada Pidato Kenegaraan 14 Agustus 2020, yang disampaikan dalam rangkaian peringatan HUT ke-75 Republik Indonesia.

Saat itu, Presiden Jokowi mengajak rakyat Indonesia tidak menyerah terhadap masalah besar yang juga dialami seluruh penghuni bumi ini, tapi sebaliknya, ‘membajak’ krisis, menjadikannya batu pijakan menuju langkah besar dan loncatan lebih tinggi lagi.

“Jangan biarkan krisis membuahkan kemunduran. Krisis ini harus kita manfaatkan sebagai momentum untuk melakukan lompatan besar,” tegasnya.

Pandemi menuntut pemerintah bekerja cepat juga berakrobat dalam situasi darurat. Aneka beleid diterbitkan sebagai payung hukum. Anggaran dihitung ulang menyesuaikan kondisi pandemi.

Ibarat kendaraan melaju kencang dalam situasi darurat maka gas dan rem harus berjalan proporsional. Keselamatan dan kesehatan menjadi prioritas utama, berbarengan dengan pemulihan ekonomi.

COVID-19 masuk agak lambat di Indonesia. Baru Maret penyakit ini mewabah. Dari Depok, hingga ke seluruh provinsi. Maka pemerintah pun bergerak sigap, termasuk mencanangkan berbagai aturan sebagai payung hukum untuk mempermudah berbagai gerakan di masa ‘extraordinary’ alias luar biasa ini.

The Extraordinary Leader is a remarkable combination of expert insight and extensive research. Seorang pemimpin yang extraordinary merupakan kombinasi dari wawasan keahlian serta penelitian ekstensif. Demikian dikatakan John H. Zenger dan Joseph R. Folkman, dua pakar kepemimpinan yang bersama-sama menulis buku ‘The New Extraordinary Leader: Turning Good Managers Into Great Leaders’

Presiden Jokowi memahami dengan pasti terkait filosofi menjadi pemimpin yang luar biasa di masa nan luar biasa.

“Langkah apapun yang extraordinary akan saya lakukan untuk 267 juta rakyat kita, untuk negara,” kata Presiden Jokowi pada Sidang Kabinet Paripurna 18 Juni 2020 lalu.

Langkah extraordinary di masa pandemi dilakukan pemerintah dengan gerak super cepat melahirkan beberapa peraturan perundangan dengan perlakuan khusus. Ini semua tak lepas dari visi presiden, ditunjang dengan konsolidasi parlemen yang sangat kuat.

Maka, lahirlah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan pandemi COVID-19 dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Demikian juga beleid atau perundangan lain di setiap level. Semua dikeluarkan sigap demi satu tujuan: mempercepat penanganan COVID-19 dan dampak ekonominya.

Mulai dari Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Penanganan COVID-19, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 21 Tahun 2020 tentang Penetapan PSBB, Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 54 Tahun 2020 tentang Refocusing APBN 2020 untuk Penanganan Pandemi, Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2020 tentang Pembentukan Komite Penanganan COVID-19 dan PEN, serta Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Hukum Disiplin Protokol Kesehatan.

Dampak besar COVID-19 dan perlambatan aktivitas bisnis membuat perekonomian Indonesia mengalami kontraksi jadi minus 5,32 persen pada kuartal kedua 2020. Sebelumnya, pada triwulan pertama 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 2,97 persen. Meski angka kontraksi pada periode kuartal kedua lebih dalam dari perkiraan semula, namun pemerintah masih menyiratkan optimisme, terutama terkait tidak diambilnya kebijakan ‘lockdown total’ pada awal-awal pandemi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa kondisi perekonomian Indonesia pada kuartal ketiga masih lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk negara di kawasan Asean dan negara G20.

Negara lain di dunia juga menghadapi situasi yang luar biasa. Perekonomian menurun sangat signifikan sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang menyebabkan penutupan sekolah, tempat kerja, hingga tempat hiburan.

“Negara-negara di dunia juga masih mengalami struggle untuk menghadapi Covid-19 dan mereka menggunakan instrumen fiskalnya secara luar biasa, kalau kita lihat dari sisi magnitude-nya, seluruh dunia terjadi pelebaran defisit fiskal yang luar biasa besar,” kata Menkeu.

Dicontohkan, negara-negara di Eropa hampir seluruhnya mengalami kontraksi di atas 20 persen pada kuartal kedua. Kontraksi paling kecil dialami Italia yaitu pada level -17,9 persen, Jerman -11,7 persen. Sementara itu, Spanyol dan Inggris terkontraksi 21,1 persen dan 21,7 persen.

Di luar Eropa, India yang pada kuartal kedua mengalami kontraksi lebih dari 23 persen, diperkirakan pada kuartal ketiga akan minus 6,6 persen.

Negara berkembang lainnya, seperti Meksiko yang mengalami kontraksi 18 persen pada kuartal kedua, diproyeksi masih akan minus sebesar 11,5 persen pada kuartal III/2020.

Brutalnya COVID-19 mempengaruhi seluruh perekonomian di dunia, tidak memandang bulu, negara maju, negara barat, negara timur, negara berkembang, negara yang low income, atau high income, semuanya terkena.

Sementara itu, ekonomi negara-negara di kawasan Asean pun masih akan terkontraksi dalam pada kuartal III/2020. Misalnya Malaysia dari kontraksi 17,1 persen pada kuartal kedua, diproyeksikan masih minus 4,5 persen pada kuartal III/2020.

Ekonomi Filipina dan Thailand pada kuartal III/2020 juga diperkirakan masih terkontraksi masing-masingnya -6,3 persen dan -9,3 persen. Sedangkan ekonomi Singapura, yang sangat tergantung pada perdagangan dan pariwisata, diperkirakan terkontraksi -6 persen pada kuartal ketiga.

Indonesia relatif dalam situasi yang cukup baik meskipun ini tentu tidak membuat kita terlena. Kita tetap berusaha untuk mengembalikan perekonomian kita kepada zona positif.

Kondisi ekonomi yang melambat tapi tidak terperosok terlalu dalam ini, beruntungnya, ditunjang oleh kepercayaan publik yang masih cukup tinggi kepada pemerintah.

Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei terkait kepuasan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dari hasil temuan Indikator, tercatat persentase kepuasan kinerja Presiden Jokowi selama September tahun ini sebesar 68,3 persen. Untuk variabel survei, Indikator menyebut kinerja Presiden mencakup secara umum, tak hanya soal penanganan pandemi Covid-19.

Sementara itu, Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) menunjukkan mayoritas responden merasa nyaman dengan kinerja Presiden Jokowi pada masa pandemi Covid-19.

Dari 803 responden dari kalangan pekerja di Jakarta, sebanyak 62,6 persen responden merasa nyaman dengan kinerja Presiden Jokowi dalam menangani pandemi Covid-19, sedangkan 37,4 persen responden menyatakan tidak nyaman dengan kinerja Presiden Jokowi dalam menangani pandemi Covid-19.

Pada situasi politik dan ekonomi di mana terjadi anomali seperti saat ini, kepercayaan publik kepada pemerintah merupakan hal yang sangat langka dan menjadi modal kuat untuk melangkah.

Pandemi memang masih belum berlalu. Meski demikian, harapan akan tumbuhnya perekonomian lebih baik menyiratkan harapan cerah, seiring kepastian vaksinasi pada akhir tahun ini. Air dalam gelas kita memang tidak penuh, tapi cara pandangnya harus diubah: bukan setengah gelas kosong, tapi masih ada setengah gelas penuh sebagai kapital berarti menuju hari esok.

Sikap optimisme dan perspektif setengah gelas terisi harus kita jaga, karena hanya mereka yang memiliki keyakinan yang akan menguasai pertempuran.

Selain itu, modal bersama melangkah sebagai satu kekuatan utuh sebagai bangsa juga adalah aspek penting untuk menjadi pemenang dari krisis besar ini.

Semua itu seperti ditekankan Presiden Jokowi dalam pengantar Rapat Terbatas Strategi Penanganan COVID-19 dari Istana Kepresidenan Bogor, 3 Oktober 2020 lalu.

“Pencapaian kita sejauh ini tidak buruk, angka-angkanya jelas. Tapi jangan membuat kita terlena. Kita harus waspada, kita harus tetap bekerja keras. Wabah ini jangan diremehkan. Ini realita. Tapi jangan membuat kita pesimistis. Tujuh bulan ini Indonesia membuktikan mampu mengatasi masalah. Belum sempurna, ya, tapi bisa kita perbaiki bersama-sama.

Mengatasi pandemi ini memang sulit, memerlukan kerja keras bersama, dan saya yakin kita akan dapat melakukannya. Yang penting dalam situasi seperti ini jangan ada yang berpolemik, dan jangan ada yang membuat kegaduhan-kegaduhan.”

 

*) Prof. Dr. Widodo Muktiyo, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika.

(ANT/RIS/PDN)


Baca juga: Mencoba Menghapus Stigma Spesialis Wakil