Search

Home / Kolom / Opini

Memaknai Sila Kelima: ‘Mama Hasria’

   |    27 September 2021    |   19:49:33 WITA

Memaknai Sila Kelima: ‘Mama Hasria’
Kang Marbawi, Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP, dalam Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 64, Memaknai Sila Kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, Bagian ke 5,’Mama Hasria’. (Foto: Istimewa)

“Negara yang menganut prinsip kesejahteraan (welfare state), memastikan setiap warga negaranya terjamin standar kesejahteraan hidup minimumnya”

 

40 jerigen kosong -ukuran lima liter, yang tersambung seutas tali disangkutkan di pundak Mama Hasria (46). Mama Hasria dan beberapa wanita lain di Desa Tinambung, Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, biasa berjalan bersama sejauh empat kilometer menuju Sungai Mandar. Untuk menuju ke sumber air bersih, Mama Hasria harus berenang menyeberangi Sungai Mandar.

Sedikitnya selama 1 jam Mama Hasria berenang mengarungi Sungai Mandar sambil membawa air bersih di dalam jerigen.  Puluhan jerigen ini dijadikan sebagai tempat air bersih demi mencukupi kebutuhan air keluarga dan masyarakat Tinambung. Wanita-wanita hebat ini berjuang untuk mencari air bersih. Masyarakat hanya cukup menggantinya Rp.500 perak.

Jumlah rupiah yang pasti tak ada dalam katalog keuangan para konglomerat. Apalagi dalam saku celananya, tak ada debu dari uang recehan. Jumlah rupiah yang biasa Kita berikan kepada “Pak Gope” di tingkungan jalan atau pengamen. Dan akumulasi Rp.500 bagi “Pak Gope” bisa menghidupi keluarganya. Hanya orang kecil yang masih mengantongi uang cash dan mengumpulkan uang cash. Recehan pula!

Tak ada kaitannya antara Mama Hasria dan wanita-wanita di Desa Tinambung Polman dengan perusahaan global air kemasan atau cerita air pam yang kadang tak bisa dipakai karena keruh. Mereka tak pernah tahu, bahwa sudah ada kesepakatan global untuk privatisasi – swastanisasi pengelolaan air, oleh perusahaan besar dunia. Bahkan tak hanya air, semua isi perut bumi Indonesia sudah dikapling-kapling.

Baca saja bukunya Bradley Simpson, Economists With Guns, Authoritarian Development and US-Indonesia Relations 1960-1968. Buku yang diterbitkan Stanford University Press tahun 2008 dan Gramedia tahun 2010. Buku ini, blak-blakan menelanjangi bagaimana sumber daya mineral Indonesia sudah “dikeruk” multinational corporation (MNC) raksasa dan perorangan swasta, sejak tahun 1967. Kita hanya dapat “tailingnya” saja. Sampah dan kerusakannya saja.

Tentu Mama Hasria tak pernah tahu soal buku Bradley Simpson ini. Mama Hasria juga tak tahu bahwa di tahun 2003 di Kyoto-Jepang, para pengusaha global dan menteri dari berbagai negara maju dan berkembang berkumpul. Mereka mendiskusikan pengelolaan krisis global sumber daya air. Pertemuan yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Kyoto tersebut mendorong peran perusahaan global untuk melakukan “komersialisasi” sumber daya air. Bahkan Michel Camdessus -kepala IMF -International Monetary Fund, mendorong pemerintah mendukung peningkatan privatisasi pada sektor pengelolaan air oleh MNC. Dengan bungkus keterlibatan dan pengelolaan pasokan air sebagai hak asasi manusia.

Pantas nasib orang-orang seperti Mama Hasria telah “ditentukan” jauh-jauh hari. Akses untuk mendapatkan air bersih saja masih perlu perjuangan. Seperti juga masyarakat di pesisir Jakarta Utara yang harus membeli air untuk minum. Sementara, guyuran air di toilet hotel bisa menghabiskan 2 sampai 3 liter air. Atau industri besar yang membutuhkan pasokan air, tanpa harus susah membeli air.

Melihat nasib orang-orang seperti Mama Hasria, kiranya perlu mendefinisikan kembali peran negara. Peranan negara sebagai Welfare State terkait dengan pembangunan ekonomi maupun bidang lainnya yang berorientasi terhadap kesejahteraan rakyat. Lebih khusus lagi, menitikberatkan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar hidup manusia yang mewujud dalam kemiskinan absolut.

Membangun keadilan sosial berarti menghadirkan struktur kekuasaan dan kebijakan yang mendorong terwujudnya akses (kesejahteraan) yang sama bagi semua rakyat. Bukan struktur kekuasaan yang telah tunduk pada kehendak dari para kolaborator seperti yang disebutkan dalam bukunya Kang Bradley Simpson. Atau tunduk pada kehendak MNC-IMF.

Struktur kekuasaan bukan seakan-akan sudah memastikan adanya ketidakadilan. Dan telah mewujudkan kesejahteraan sebagai wujud keadilan sosial bagi masyarakat. Sementara masih ada golongan-golongan miskin dalam masyarakat yang tak punya akses terhadap air bersih. Apalagi akses terhadap sumber kesejahteraan lainnya. Di Lain tempat, terdapat kelompok-kelompok yang dapat hidup dengan seenaknya. Karena mereka menguasai sebagian besar sumber daya alam dan memiliki akses dan didukung struktur kekuasaan. Welfare State  memastikan keadilan sosial mewujud dalam terpenuhinya hak-hak golongan masyarakat miskin. Keadilan sosial membutuhkan struktur kekuasaan yang menganut Welfare State.  Struktur kekuasaan yang berdaulat dan tak tunduk pada MNC dan atau IMF.

Oleh: Kang Marbawi (Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP)

 (COK/RIS/PDN)


Baca juga: Legalitas Keputusan Pemerintah SKB yang Legitimatif