Search

Home / Kolom / Opini

Panikos Ataka

   |    12 Februari 2022    |   21:13:02 WITA

Panikos Ataka
Kang Marbawi, Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP. (Foto: doc. bpip/Istimewa)

“Krupuk mentah di pinggir wajan mak,”

“Tak ada minyak untuk menggoreng”

“Katanya lagi naik daun untuk harga Cuma 3 sendok sayur buat krupuk matang”

“Di bawah tiang bendera, aku melamun….”

Potongan puisi Ilenk Rembulan yang diupload 20 Juni 2007 itu, seolah mewakili realitas saat ini. Walau tak berkaitan dengan gonjang ganjing langka dan mahalnya minyak goreng, puisi itu, menyentak ulu hati.

Istri saya dan mungkin emak-emak yang suaminya berpendapatan pas-pasan, mengeluh soal mahal dan langkanya minyak goreng. Untungnya Istri saya tak ketularan penyakit panic buying. Tak tertular, lebih karena tak cukup persenjataan untuk berburu minyak goreng. Bisa jadi, ada banyak emak-emak yang tak terjangkiti panic buying, musabab tak cukup amunisi. Nerimo!

Langka dan mahalnya minyak goreng menyebarkan penyakit panikos ataka atau panic attack, serangan panik, alias kalut. Masyarakat bergegas mencari barang itu, tersuruk di rak-rak mall bagi yang berkantong tebal atau pasar rakyat becek bagi yang pendapatan pagar bambu. Terpaksa beli walau mahal dan sedikit protes ke penjual. Karena rakyat kecil hanya bisa menggoreng krupuk,tempe atau tahu untuk makan.

Kalut, bukan karena produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang mencapai 47,47 juta ton tahun 2021, kurang. Atau 15,08 juta hentare (ha) luas perkebunan sawit menyusut. Bukan itu biang keladinya.

Kalut! Sebab minyak goreng itu bagian dari hajat hidup orang banyak. Bisa runyam, jika masyarkat bawah tak bisa goreng krupuk, tempe atau tahu, gegara tak mampu beli minyak goreng. Bisa ruwet, jika perusahaan raksasa penghasil minyak sawit, dagangannya, tak terbeli rakyat.

Hampir semua orang hiruk-pikuk, terutama pejabat urusan itu. Mereka pun terkena sindrom panikos ataka, bergerak cepat- seolah takut ketinggalan kereta cepat.  Jangan sampai krupuk yang digoreng emak-emak di kampung, tak mateng, lantaran tak ada minyak di wajan. Berbagai jurus dikeluarkan. Mulai operasi pasar hingga buat pasar-pasar kaget di gang rumah emak-emak kampung.

Beda muasal panikos ataka emak-emak dengan pejabat. Pemicu sindrom panikos ataka para pejabat ini bisa jadi, karena takut dianggap tak bisa menggelar salah satu program Nawacita dibidang ekonomi.

“Meningkatkan produktivitas dan daya saing baik tingkat nasional maupun global. Menggerakkan ekonomi yang inklusif dengan fokus pada pembangunan ekonomi domestik”. Ekonomi yang menumbuhkan dan menguatkan rakyat! Bukan ekonomi yang hanya menguntungkan oligarki!

Buat istri saya dan jutaan emak-emak, tak tahu   penyulut sindrom panikos atakanya pejabat berwenang. Dan tak tahu apakah langka dan mahalnya komoditas hajat hidup orang banyak yang sering terjadi adalah bagian dari penyakit kejiwaan kleptokrasi para oligarki. Tak paham mereka. Yang pasti ketika komoditas yang menjadi hajat hidup orang banyak diatur oleh segelintir orang tanpa campur tangan negara, maka semakin menabalkan predikat los margindos -kaum terpinggirkan, emak-emak dan jutaan rakyat. Hanya memperkuat oligarki!

“Katanya lagi naik daun untuk harga Cuma 3 sendok sayur buat krupuk matang”

“Di bawah tiang bendera, aku melamun….”

Emak-emak hanya bisa melamun, kapan bisa menggoreng krupuk, tempe dan tahu yang tak diriwuki langka dan mahalnya bahan baku serta carut marutnya distribusi atau permainan pasar.

Oleh: Kang Marbawi, Jum’at, (11/02/2022).

(COK/RIS/PDN)


Baca juga: Bebal