Search

Home / Kolom / Opini

Monolog

   |    01 Maret 2022    |   19:51:16 WITA

Monolog
Kang Marbawi, Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP. (Foto: doc.bpip/Istimewa)

"Saya ingin segala sesuatu yang berlawanan: celana longgar, jubah ketat, topi kecil dan sepatu besar ... Saya menambahkan sebuah kumis kecil yang saya gunakan sebagai alasan untuk menambah umurku tanpa menyembunyikan ekspresiku. Saya sama sekali tidak memiliki ide tentang karakter ini. Namun ketika aku berpakaian, pakaian dan tata rias membuatku merasa bahwa aku menjadi orang tersebut. Aku mulai mengenalnya dan ketika aku berjalan di atas panggung, dia sepenuhnya lahir." Sir Charles Spencer Chaplin,1889 M.

Kehidupan di tangan Chaplin, dan mungkin orang-orang seperti Putu Wijaya hanya sendagurau. Perspektif kerumitan menjadi lenyap dalam laku parody performance para komedian. Dan dengan bebas, para komedian melakukan monolog berbusa kritik dan sarkais tentang segala. Juga tentang kebebalan sikap dalam menghadapi kehidupan.

Para monolog seolah mewakili sudut pandang yang berbeda dalam melihat kehidupan. Seperti disampaikan Putu Wijaya,”tiap orang mempunyai sudut terbaik yang berbeda dengan orang lain, sudut pandang itulah yang harus kita temukan”.

Monologer atau swawicara mampu memarodikan berbagai sudut pandang dalam perspektif satiris bahkan sarkais. Menertawakan kegetiran hidup, sekaligus mengkritis keadaan dalam kaca mata yang berbeda. Seumpama menawarkan lanskap pelangi dan sekaligus sudut kelam, lorong becek gelap, berbalut aroma comberan dan bangkai. Monolog yang mewakili sudut konflik kepentingan antar dua sisi. Bahkan lebih kompleks.

Mencoba menawarkan jalan keluar yang absurd yang tak serius. Sebab monolog tak bermaksud untuk memberi solusi. Hanya menyentil, nurani manusia yang jauh dari tapak bumi manusia. Monolog sastrawan yang manggung diujung senja karatnya nurani. Seperti halnya cuitan di media sosial yang mungkin direspon dan menjadi viral.

Parody performance monologer yang absurd menegaskan apa yang disampaikan Judith Burder, sikap untuk mengambil jarak dari sikap kelewat serius. Namun tak lepas dari esensi kritik sosial terhadap mereka-mereka yang tak punya ilusi penerimaan ragam perspektif.

Monolog yang tak punya ilusi dalam wewarna pelangi vista, sering kali menjelma pada manusia yang telah nyaman disatu titik. Menggenggam status quo seolah jimat yang tak boleh disentuh. Sebaliknya semua orang harus melihat jimat bertuah tanpa cacat. Tak mau menerima vista, bahwa ada sesuatu yang lebih dahsyat dari jimat. Yaitu karsa dan karya kreatifitas dalam mengubah kehidupan menjadi lebih bermakna. Status quo bermakna tak mau perubahan.

Monolog membutuhkan ragam perspektif dalam dialog. Membungkam amnesia yang menjadikan orang abai, pun asyik dalam ruangnya sendiri-sendiri. Tak ada dialog, tak ada komunikasi untuk mengembangkan dan mengenal ragam pikir.   Amnesia kadang lahir dari kekuasaan dan status quo. Padahal kekuasaan yang tak diartikan Amanah hanyalah pengulangan dari hubungan traumatik antarmanusia.

Monolog menjadi penanda, putusnya dialog bertudung komunikasi setara dan alamiah. Saussure, menekankan “kata” sebagai penanda dialog dimanapun dan dalam bentuk apapaun adalah sesuatu yang arbitrary, sebuah konvensi. Makna yang disepakati subyek yang terlibat dalam dialog.

Celana longgar, jubah ketat, topi kecil dan sepatu besarnya Caplin adalah simbol satiris ragam sudut pandang kebudayaan fashion pada masanya yang tak terdialogkan. Caplin, memberi warna pelangi dalam khazanah kreatifitas dan sudut pandang. Begitupun di lingkungan kita. Ada banyak sudut pandang yang menunggu untuk didialogkan dalam caping komunikasi. Terbukalah, maka akan ditemukan pelangi itu.

Oleh: Kang Marbawi (25/02/2022). (COK/RIS/PDN)


Baca juga: Bebal