Search

Home / Khas / Sosial Budaya

Menggaungkan Kembali yang Punah

Editor   |    11 Maret 2023    |   17:21:00 WITA

Menggaungkan Kembali yang Punah
Tari Gambuh Budekeling yang sudah hampir punah ditampilkan dalam acara Bincang Budaya bertema Menggaungkan Kembali yang Punah, pada Sabtu (11/3) di Gianyar. (foto/adi)

SUARA rindik yakni musik tradisional Bali dari bambu diiringi alunan merdu seruling bambu, terdengar sayup-sayup menemani semilir angin yang berhembus di Restoran Masa-Masa Bali, di Jalan Subak Telaga No 9 Ketewel, Sukawati, Gianyar, Sabtu (11/3).

Nuansa budaya Bali pun terasa kental pada sore yang sejuk ini. Tak hanya itu, lagu kebangsaan Indonesia Pusaka juga dikumandangkan yang menyiratkan ragam budaya Tanah Air.

Nah, alam, budaya dan kerajinan merupakan tiga kekayaan negeri yang saling terkait yang harus dijaga. Hal itu terungkap dalam acara Bincang Budaya bertema ‘Menggaungkan Kembali yang Punah’ yang digelar Indonesia Gaya.

Bincang Budaya ini membahas tarian dan alat musik di Bali yang sudah punah, yang bahkan orang Balinya sendiri tidak tahu karena tidak pernah dipentaskan lagi. Yakni Tari Rejang Pala, Gambuh Budakeling, Preret, Bala Ngerebag, hingga Genggong.

Pemrakarsa Indonesia Gaya, Gayatri Wibisono menyampaikan, Indonesia Gaya merupakan komunitas gerakan jaga negeri, sebagai upaya untuk mengangkat kembali budaya yang sudah tenggelam, khususnya di Bali dan di Indonesia pada umumnya.

“Tujuan acara ini adalah bersama kita jaga negeri untuk saling mengingatkan terutama tertuju pada generasi muda agar tetap tahu cerita budaya sehingga tidak lupa akar,” ungkapnya.

Dikatakan, negeri ini memiliki budaya yang teramat banyak ragamnya. Bayangkan jika satu persatu budaya hilang, karena sudah tidak ada lagi yang mau membawakan bahkan tidak juga diingat atau diperhatikan lagi. Satu persatu budaya lupa untuk diceritakan, hingga akhirnya tenggelam.

“Banyak sekali seni budaya kita, dan orang daerah di daerah masing masing yang sudah tidak tahu ada tarian ini itu dan alat musik, motif, tulisan yang sudah tenggelam di mana dahulunya merupakan kekayaan budaya daerahnya,” tuturnya.

Lanjutnya, Bincang Budaya kali ini, membahas tarian dan alat musik di Bali yang sudah punah, yang bahkan orang Balinya sendiri tidak tahu karena tidak pernah dipentaskan lagi.

"Saya yakin dengan melihat dan mendengar langsung tari-tarian dan alat musik yang orang Bali sendiri banyak yang tidak tahu. Kemudian pulang dari sini bisa diceritakan ke sanak saudara maupun teman," harapnya.

Adapun narasumber yang hadir dalam kegiatan ini, yakni seniman Ida Ayu Wayan Arya Satyani, Ketut Naba, Ida Bagus Eka Haristha, Marmar Herayukti, dan Ketua Yayasan Bumi Bajra Sandhi Ida Made Dwipayana.

Mulai dari Bala Ngerebag yang merupakan sebuah tarian cerita tentang prosesi ‘Ngerebag’ yang dilakukan di berbagai daerah di Bali. Tujuannya menetralisir atau membersihkan diri serta menyeimbangkan hubungan antar manusia, alam dan Sang Pencipta.

Kemudian dipentaskan Rejang Pala yang ditarikan saat Usaba Pala di Pura Balang Tamak. Rejang Pala punah diperkirakan sejak peristiwa gempa bumi dahsyat ‘gejor Bali’ tahun 1917.

Tahun 1984 sempat direkonstruksi oleh Ida Pedanda Gde Jelantik Dangin yang saat itu menjabat sebagai Bendesa Adat Nongan. Rekonstruksi dilakukan sebagai bagian dari pamahayu (renovasi dan upacara) Pura Balang Tamak.

Selanjutnya, juga dipentaskan Tari Gambuh Budakeling. Di mana sebenarnya belum punah, karakteristik tarian di kerajaan Karangasem yang biasa membawakan kisah drama tari cerita Panji.

Selanjutnya seni musik Genggong merupakan seni musik dari hentakan bilah bambu tipis yang dimainkan di bibir, sehingga mengeluarkan suara layaknya kodok yang bersahut-sahutan di musim hujan.

Dan diakhiri permainan alat musik Preret merupakan alat musik tiup layaknya seruling, namun suaranya lebih ke arah terompet. Tentunya dengan nada gamelan Bali.

Preret dahulu digunakan untuk menyerang kerajaan Lombok. Tapi di Jembrana konon dipakai untuk memikat wanita. "Genggong ada di seluruh Bali, dan di Desa Budakeling masih ada. Ini biasanya dimainkan ibu-ibu pada zaman dahulu, yakni saat waktu senggang dari pada ngerumpi," tutur Ida Made Dwipayana.

Seniman asal Jungsri Bebandem, Made Naba menuturkan bahwa genggong ini adalah kisah cinta sepasang sejoli yang terpisahkan dengan adanya sungai. "Saya tidak pernah menciptakan tema dalam genggong. Itu sudah saya terima turun temurun," tuturnya. (adi/sut)


Baca juga: Kisah Mistis Pelinggih Mobil di Desa Sangket