Search

Home / Aktual / Gaya Hidup

Perjanjian Pra-Nikah, Bukan Bentuk Keraguan Pasangan

Made Suteja   |    27 Mei 2023    |   20:46:00 WITA

Perjanjian Pra-Nikah, Bukan Bentuk Keraguan Pasangan
Perjanjian pra-nikah (legistra)

BANYAKNYA isu perceraian dan perselingkuhan yang muncul di dunia maya membuat pembuatan perjanjian pra-nikah menjadi hal yang santer dibicarakan. Prof Dr Agus Yudha Hernoko SH MH, Guru Besar bidang Hukum Perdata Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (Unair) turut menanggapi hal tersebut.

Perlu pertimbangan calon pasangan

Prof Yudha menganggap, calon pasangan suami istri perlu mempertimbangkan masak-masak perjanjian menyangkut pernikahan. Tentu, dengan segala konsekuensi hukumnya. “Ini bukan masalah selera atau suka-suka, tetapi merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum,” tegas Prof Yudha sebagaimana dilansir dari laman Unair, pada Sabtu (27/5/2023).

Keberadaan perjanjian ini kerap dianggap sebagai bentuk keraguan antara pasangan. Namun, guru besar FH itu berpendapat bahwa sejatinya perjanjian menyangkut perkawinan merupakan pilihan berdasarkan oleh konsekuensi masing-masing.

“Kalau alasan kepercayaan atau keraguan menjadi dasar membuat perjanjian perkawinan, maka hakikat perkawinan yang berlandaskan dimensi hukum, moral, serta agama menjadi absurd dan bias,” sebut dosen kelahiran Madiun tersebut.

Praktik yang kurang tepat

Prof Yudha juga menyoroti adanya praktik yang kurang tepat. Yakni pemahaman perjanjian pranikah (prenuptial agreement) dan perjanjian selama perkawinan (post nuptial agreement).

“Perlu diluruskan. Sehingga, memperoleh pemahaman yang komprehensif dan tidak bias oleh fakta empiris yang kurang memperhatikan ketepatan konteks aturan hukum yang melingkupinya,” jelasnya.

Pada dasarnya, kedua perjanjian itu mengatur segala sesuatu serta akibat hukumnya kepada harta benda perkawinan. Serta, dapat juga memasukkan poin-poin lain. Sepanjang, tidak bertentangan dengan substansi UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada pasal 29.

Hal-hal yang dapat diatur

Dalam UU Perkawinan, terdapat ayat yang menyatakan adanya ruang gerak terhadap pengaturan harta benda sepanjang para pihak tidak menentukan lain. “Frasa inilah yang membuka ruang adanya perjanjian perkawinan, yang pada praktiknya kemudian ada istilah perjanjian pra nikah. Untuk menindaklanjuti maksud para pihak tersebut maka ada aturan lebih lanjut dalam Bab 5 Perjanjian Perkawinan,” jelasnya soal perjanjian pra-nikah.

Sesuai Amandemen Putusan MK, vide Pasal 29 (1), Prof Yudha menjelaskan bahwa seseorang dapat melakukan perjanjian ini sebelum, pada saat, atau selama perkawinan berlangsung. Sementara formalitasnya melalui perjanjian tertulis. Pegawai pencatat perkawinan atau notaris mengesahkan perjanjian tersebut, yang kemudian isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga terkait.

“Surat dengan tulisan tangan, meterai dan tanda tangan tidak memenuhi syarat formil maupun materiil, dan itu sekedar mengikat para pihak. Bahkan, tulisan mengenai janji tidak akan selingkuh itu menjadi hal yang menggelikan bagi ahli hukum. Karena hakikat perkawinan ialah ikatan lahir batin pria dan wanita sebagai suami istri dalam membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga tanpa ada surat tersebut maka komitmen akan kesetiaan dan tanggung jawab terhadap keluarga dan rumah tangga bersifat mutlak,” jelasnya perihal perjanjian pra-nikah. (dev/sut)


Baca juga: Pertimbangan Sebelum Memilih Konsep Acara Pernikahan