Search

Home / Kolom / Opini

Alasan Presiden Tolak Beri Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto

   |    05 September 2017    |   05:48:33 WITA

Alasan Presiden Tolak Beri Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto
Presiden RI ke 2, almarhum HM Soeharto

JAKARTA, podiumnews.com - Kebijakan pemerintahan Joko Widodo  yang menolak memberikan gelar pahlawan nasional kepada almarhum Soeharto, sungguh mengecewakan keluarga Soeharto dan para pendukungnya. Presiden kedua Indonesia itu gagal merebut gelar pahlawan nasional. Namanya tidak masuk dalam daftar lima tokoh yang diberi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi di Istana Negara, tepatnya pada Kamis (5/11/2015) lalu.

Adapun lima tokoh tersebut adalah Bernard Wilhem Lapian (alm), Mas Iman (alm), Komjen Pol Moehammad Jasin (alm), I Gusti Ngurah Made Agung (alm) dan Ki Bagus Hadikusumo (alm). Mereka dikukuhkan sebagai pahlawan nasional lewat Keputusan Presiden (Keppres) 116/TK Tahun 2015. Semua plakat tanda jasa dan penghargaan gelar pahlawan nasional diberikan oleh Presiden Jokowi kepada para ahli waris.

Yang lebih menyesakkan dada keluarga Soeharto dan para pendukngnya adalah salah seorang di antara lima tokoh tersebut, Moehammad Jasin, adalah anak buah Soeharto. Oleh karena itu wajar muncul pertanyaan dari sebagian masyarakat, mengapa Soeharto tidak mendapat gelar pahlawan nasional ?

Pemberian gelar pahlawan nasional diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2009tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). Syarat umumnya adalah (1) WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; (2) Memiliki integritas moral dan keteladanan; (3) Berjasa terhadap bangsa dan negara; (4) Berkelakuan baik; (5) Setia dan tidak menghianati bangsa dan negara; dan (6) Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun.

Sedangkan syarat khususnya adalah: (1) Pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa; (2) Tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan; (3) Melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya; (4) Pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara; (5) Pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa; (6) Memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau (7) Melakukan perjuangan yang menpunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

Setiap orang, lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non kementerian, pemerintah daerah, organisasi, atau kelompok masyarakat dapat mengajukan usul pemberian gelar calon pahlawan nasional.

Secara garis besar usulan pemberian gelar pahlawan diajukan melalui bupati/walikota atau gubernur kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Selanjutnya Menteri Sosial mengajukan calon pahlawan nasional kepada Presiden RI melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan guna mendapatkan persetujuan penganugerahan gelar pahlawan nasional sekaligus tanda kehormatan lainnya.

Penolakan Kedua Kali
Terlepas dari berbagai kekurangannya, Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun Orde Baru itu berandil besar dalam pembangunan Indonesia. Karena perannya yang besar memajukan Indonesia itu Himpunan Masyarakat Peduli Indonesia (HMPI) mengusulkan Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional. Organisasi kemasyarakatan (ormas) ini didirikan putra bungsu Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, Juni 2015. Kenyataan ternyata tak seindah harapan. Jokowi enggan memenuhi keinginan HMPI.

Ini untuk kedua kalinya Soeharto gagal merebut gelar pahlawan nasional. Sebelumnya pada 2010 sekelompok masyarakat mengusulkan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto. Namun, ketika itu Presiden SBY menolak.

Oktober 2010 berbagai elemen masyarakat berunjuk rasa besar-besaran menolak Soeharto diangkat menjadi pahlawan nasional. Para demonstran menilai Soeharto tidak layak menjadi pahlawan nasional. Menurut mereka setidaknya ada empat alasan Soeharto tak layak menyandang predikat pahlawan nasional.

Pertama, selama berkuasa lebih kurang 32 tahun Suharto tercatat sebagai salah satu penguasa nomor wahid yang paling banyak memiliki catatan pelanggaran HAM di dunia.

Beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang menjadi tanggung jawab Soeharto, antara lain G30S/PKI tahun 1965 yang memakan jutaan korban tak berdosa, tragedi kebijakan pembangunan dengan penggusuran rakyat (misalnya Kedungombo), politik pengekangan kebebasan mahasiswa, peristiwa Timor Timur, Talangsari, penembakan misterius (Petrus), Tanjung Priok, Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, intervensi dan konflik Gereja HKBP, sampai dengan Tragedi Mei 1998.

Berbagai praktik pelanggaran HAM tersebut, sampai akhir hayatnya, tidak pernah dipertanggungjawabkan Soeharto baik secara politik maupun secara hukum.

Itu artinya masyarakat korban politik Soeharto sampai saat ini tidak pernah mendapatkan kebenaran, pemulihan, dan keadilan. Dengan kata lain, Soeharto tidak memiliki prasyarat dasar sebagai pahlawan, yakni pemimpin yang bersih dan bertanggung jawab. Sebaliknya, Soeharto adalah pemimpin politik yang tangannya penuh lumuran darah rakyat yang ditindasnya. Kalaupun Soeharto disebut memiliki sejumlah jasa kepada republik ini, jasa-jasa tersebut tidak bisa menghapus dosa-dosa politik yang dibuatnya.

Kedua, Ketetapan MPR RI No.XI/MPR/1998 tanggal 13 November 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, masih berlaku. Pasal 4 berbunyi: Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto.

Oleh karena itu upaya menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional bertentangan dengan ketetapan MPR.

Ketiga, kebijakan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan prioritas politik saat ini dan ke masa yang akan datang. Kebijkan politik dan hukum prioritas yang dibutuhkan saat ini dari SBY-Boediono adalah meluruskan sejarah tragedi politik 65, mengungkap kebenaran, serta mewujudkan keadilan dengan memulihkan hak-hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya para korban politik Soeharto.

Keempat, Soeharto tercatat sebagai pemimpin politik nomor satu paling korup di dunia (Global Stolen Asset Recovery Initiative, United Nations, 2005), sama dengan peringkat hasil penelitian Transparency International, tahun 2004.

Dendam Politik?
Penolakan Soeharto menjadi pahlawan nasional tampak kental dengan nuansa politisnya, kalau tidak disebut sebagai ajang balas dendam. Presiden Jokowi adalah kader PDI-P, dan tokoh sentral partai berlambang kepala banteng ini adalah Megawati Soekarnoputri, putri Presiden pertama Indonesia Ir. Sukarno alias Bung Karno.

Setelah Bung Karno terjungkal dari kursi kekuasaannya akibat meletusnya G30-S/PKI tahun 1965, ia dan keluarganya mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari pemerintahan Orde Baru (Orba) pimpinan Jenderal Soeharto. Setelah Bung Karno wafat, keluarganya masih terus mendapat intimidasi dari Orba.

Di era Orba upaya pendukung Bung Karno agar mendapat gelar pahlawan nasional tak pernah terwujud. Gelar pahlawan nasional baru diraih Bung Karno di era SBY. Megawati menghadiri penganugerahan gelar pahlawan nasional untuk ayahnya di Istana Negara, Rabu (7/11/2012).

Durhaka
Sekretaris Jenderal Sekjen HMPI Tri Joko Susilo, yang akrab dipanggil Joko, menuding pemerintah durhaka pada Pak Harto karena tidak memberikan gelar pahlawan nasional.

“Apa Jokowi dan presiden-presiden sebelum Jokowi takut memberi gelar pahlawan ke Pak Harto karena mereka akan kalah populer dengan Pak Harto? Masyarakat jadi ingat kalau Pak Harto lebih baik daripada presiden-presiden sebelumnya,” kata Joko ketika dihubungi Obsessionnews.com Kamis (5/11).

Menurutnya, lamanya Soeharto berkuasa karena memiliki ide yang terasa bagi masyarakat. Ini pelajaran bagi kita bahwa menjadi suatu kelompok atau orang yang daya tahan atau eksisnya di mata masyarakat adalah sebesar apa idenya.

“Kalau Pak Harto tidak punya ide dan pemikiran otentik, tak mungkin bertahan selama puluhan tahun. Pak Harto memiliki ide perubahan bagi negeri secara gradual atau bertahap, lewat pelita satu, pelita dua, sampai pelita lima dengan ending swasembada. Periode sekian fokus pada pertanian, periode sekian lagi fokus pada infrastruktur,” katanya.

Lebih jauh Joko menuturkan, pembangunan demokrasi di masa Soeharto lebih bagus daripada saat ini. (Sumber: tangkasnews.com)


Baca juga: Membangun Pariwisata Bali dari Badung