Search

Home / Kolom / Opini

Bandara Buleleng, Bali. Benarkah Investornya Masih Berkelas Investor Broker?

   |    07 September 2017    |   08:42:38 WITA

Bandara Buleleng, Bali. Benarkah Investornya Masih Berkelas Investor Broker?
Gede Pasek Suardika dan ilustrasi bandara

BANYAK yang tanya saya soal bagaimana sebenarnya Bandara di Buleleng. Betul atau tidak. Mungkin atau hanya jualan politik. Maka saya tidak bisa menjawab pasti. Karena membuat bandara itu ijin harus pusat. Apalagi bandara internasional.

Namun dalam kebijakan nasional, Pembangunan bandara di Bali Utara memang sudah disepakati diperlukan. Sebenarnya di satu propinsi punya lebih satu bandara itu hal yang biasa. Tidak usah bicara Sulsel, Jatim, DKI-Banten, Sulteng, Papua. Tetangga dekat seperti NTB dan NTT punya banyak bandara. Jadi tidak masalah, malah bisa selesaikan masalah.

Bagaimana dg rencana bandara di Buleleng yang konon kini sedang jadi rebutan antara di laut dan di darat. Ada yg bilang tidak mungkin di tengah laut ada yang bilang terlalu boros  lahan kalau di darat. Saling degradasi itu ternyata urusan rebutan dua "katanya" investor. Akibatnya,  konon akibat tarik menarik dua kekuatan bisnis ini lalu di pusat ijin Penlok jadi terhambat. Akibatnya adu manuver politik terjadi diantara investor "katanya" tersebut.

Konon sudah didamaikan dengan secarik kertas bermaterai dibawah tangan. Agak lucu sih, bagaimana proyek puluhan triliun mereka berdamai dengan akta dibawah tangan bermaterai Rp 6 ribu saja. Bukan akta notariil yang lebih otentik.

Apakah mungkin di darat..? Ya mungkin lah, yang penting lahannya ada. Apa mungkin di laut.? Ya juga mungkinlah. Teknologi sudah maju kok. Masalahnya bukan di darat atau di laut utk Bandara di Buleleng.

Benarkah investornya punya kekuatan dana sebesar utk membangun bandara..? Kalau toh ada investor luar, benarkah dananya sudah masuk di account Bank di Indonesia..? Atau masih berupa proposal.

Jujur..ini kekhawatiran saya pribadi. Maaf ini analisa pribadi yang bisa sangat salah. Kedua kubu investor ini masih berkelas Investor Broker. Artinya kedua investor berkompetisi mengejar pegang ijin penlok, tetapi kalau toh sudah didapat maka tidak akan langsung membangun. Tetapi akan menyebar proposal ke berbagai funding dan pengusaha luar negeri.

Ada dua "kebetulan" yang saya temukan. Pertama, saya bertemu teman pengusaha yang cerita kalau mitranya di luar negeri ditawari untuk mendanai pembangunan bandara dengan pengajuan proposal. Saya tanya dari siapa proposal tersebut? Dijawabnya, dari perusahaan yang mengaku investor bandara. Lho katanya dana sudah siap kok masih tawarkan cari funding..?

Lalu yang kedua, saya ditelpon teman kecil saya di Buleleng yang juga pengusaha. Dia cerita ditawari untuk mengambil posisi suplier proyek Bandara. Tapi ujungnya diminta uang dimuka Rp 5 Miliar. Karena merasa berteman, dia konfirmasi soal peluang sebenarnya dari proyek tersebut. "Saya ditawari suplai kok saya dimintai uang. Harusnya saya yg dapat panjar uang dong kan yang punya barang," katanya keheranan. 

Lalu yang ketiga, ada tokoh dari Bali dan punya jaringan luas mengajak dua investor untuk suplier proyek bandara. Dia mengaku sudah dijanjikan pasti akan ada peletakan batu pertama oleh Presiden Jokowi tetapi setelah datang ke Bali ternyata Jokowi tidak ada, Presiden juga tidak ada. Paling banter ada Presiden Direktur perusahaan saja. Tidak hanya itu, perusahaan yg mengaku jadi subcon investor bandara itu minta dana goodwill Rp 10 M. Waduh..!! 

Saya merasa perlu sampaikan ke publik, kita untuk bersabar dan tunggu otoritas pemerintah pusat keluarkan ijin, kita awasi kebenaran investor ini apakah investor beruang atau investor cari uang alias broker. Kasihan daerah dimana saya lahir, sekolah dan besar itu kalau hanya dijadikan proyek para broker. Baik karena urusan harga tanah, urusan janji pengerjaan proyek dll. 

Bukan urusan curiga atau menjelekkan dan lainnya. Tetapi ini urusan kewaspadaan. Buleleng terlalu lama semua diambil haknya dan dibuat timpang. Sehingga perlu hati-hati menyikapinya.

Ibukota saja sudah diambil, walau di UU No 64 tahun 1958 masih tetap disebutkan ibukota Bali itu Singaraja.Kampus Unud sudah diambil dan untung dibangun Undiksa. Pelabuhan Buleleng juga sudah tidak berfungsi dan full di Pelabuhan Benoa. Dan masih banyak lagi yang membuat wilayah terluas dan penduduk terpadat itu masih tertinggal.

Jadi waspada, hati-hati dan tetap ikuti pemerintah pusat adalah kunci sebenarnya. Dimana ijin Penlok itu didukung sembari berdoa, semoga bandara Buleleng tidak hanya diatas kertas saja. Karena masih menunggu investor sejati bekerjasama dengan pemegang ijin Penlok yang sejatinya Investor perantara. Semoga. (dikutip dari laman facebook Gede Pasek Suardika, 29 Agustus 2017)


Baca juga: Alasan Presiden Tolak Beri Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto