SKANDAL MORAL ASN: Seperempat Pelanggaran Etik Berujung Perselingkuhan
PODIUMNEWS.com – Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mengungkapkan bahwa isu perselingkuhan dan pelanggaran moral di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, menjadikannya krisis moral yang mengancam integritas birokrasi negara. Data resmi menunjukkan bahwa perilaku amoral ini secara konsisten menjadi salah satu pelanggaran kode etik tertinggi, menggoyahkan pelayanan publik dari pusat hingga daerah, bahkan memicu reaksi keras di Bali.
Laporan KASN periode 2020 hingga 2023 membeberkan fakta mengejutkan: kasus perselingkuhan dan masalah rumah tangga menyumbang 25 persen dari total laporan pelanggaran kode etik dan perilaku ASN yang ditangani lembaga tersebut. Dalam kurun waktu tiga tahun itu, tercatat 172 kasus resmi yang ditangani KASN terkait isu tersebut. Angka ini diyakini hanyalah puncak gunung es, mengingat ribuan kasus lainnya diselesaikan di tingkat Biro SDM dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) masing-masing instansi.
Data dari pengadilan agama di berbagai daerah juga mengonfirmasi bahwa masalah moral, yang didominasi perselingkuhan, menjadi penyebab utama gugatan cerai yang diajukan oleh maupun terhadap ASN, seperti yang tercatat di Bojonegoro dan Lamongan. "Perselingkuhan bagi ASN adalah pelanggaran berat. Ini bukan hanya masalah pribadi, ini merusak citra seluruh birokrasi dan melanggar sumpah jabatan," tegas seorang sumber dari KASN.
Perselingkuhan bagi ASN tidak hanya melanggar etika, namun juga disiplin yang diatur secara ketat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pelanggaran disiplin berat ini diancam dengan sanksi terberat. Sanksi yang mungkin dijatuhkan meliputi penurunan jabatan, pembebasan dari jabatan, hingga Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) alias pemecatan. Kasus-kasus yang menjadi sorotan publik, seperti oknum PJU Polda Jambi dan pejabat Pemkab Majalengka, seringkali berujung pada sanksi disiplin berat, menunjukkan komitmen instansi untuk menjaga integritas.
Krisis moral ini juga telah merambah ke tingkat lokal, memicu respons keras dari pemerintah daerah, khususnya di Bali. Gubernur Wayan Koster, secara terbuka pernah mengeluarkan peringatan keras kepada seluruh ASN di lingkungan Pemprov. Koster menegaskan bahwa daerah yang menjunjung tinggi nilai budaya dan spiritual tidak akan menoleransi perilaku asusila dan perselingkuhan. Ia bahkan mengancam bahwa ASN yang terbukti bersalah akan langsung dihadapkan pada ancaman Pemecatan (PTDH) tanpa pandang bulu, menjadikan peringatan tersebut sebagai cambuk untuk menjaga etika dan moral di Pulau Dewata.
Kasus perselingkuhan ASN yang terus berulang dan masif bukan hanya drama rumah tangga yang viral. Ini adalah indikasi lemahnya pengawasan moral dan implementasi sanksi disiplin yang harus ditindak tegas demi menyelamatkan integritas birokrasi negara dari kehancuran etika.
CATATAN REDAKSI
ASN bukan sekadar profesi, melainkan simbol kepercayaan negara. Ketika sumpah jabatan dikalahkan oleh urusan emosional dan komitmen publik runtuh oleh kepentingan pribadi, maka yang terguncang bukan hanya rumah tangga, melainkan martabat birokrasi itu sendiri.
Melonjaknya pelanggaran moral ASN bukan hanya tentang perilaku individu, tetapi tentang rapuhnya pengawasan, lunturnya rasa malu, dan hilangnya standar etik dalam pelayanan publik. Negara bisa membuat aturan, menerbitkan PP, dan mengancam dengan sanksi pemecatan. Namun selama integritas tidak tumbuh dari kesadaran, bukan dari ketakutan, birokrasi akan tetap menjadi gedung besar dengan pondasi reputasi yang lapuk.
Perselingkuhan ASN memang bisa diproses secara hukum, tetapi pemulihan kepercayaan publik tidak bisa. Kepercayaan tidak dikeluarkan melalui surat keputusan, dan martabat tidak bisa dikembalikan hanya dengan sanksi administratif. Ia tumbuh pelan, dijaga oleh tanggung jawab, dan hanya bisa diraih oleh mereka yang memahami bahwa jabatan bukan sekadar kekuasaan, melainkan amanah yang tidak boleh dikhianati.
Integritas negara tidak hanya dibangun oleh undang-undang, tetapi juga oleh kesetiaan: kepada keluarga, kepada jabatan, dan kepada nurani. (*)
Menot Sukadana