Search

Home / Kolom / Opini

Menggugat Hari Pers Nasional

   |    09 Februari 2020    |   15:27:10 WITA

Menggugat Hari Pers Nasional
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Orde baru boleh pergi, tetapi beberapa warisannya masih lestari hingga kini. Salah satunya: Hari Pers Nasional, yang diperingati setiap tanggal 9 Februari. Sayang, pemerintahan Joko Widodo turut melestarikannya.

Penetapan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional diputuskan melalui Surat Keputusan Presiden No. 5/1985. Jadi, secara resmi, peringatan Hari Pers Nasional baru dimulai pada tahun 1985. Padahal, geliat pers nasional sudah berlangsung ratusan tahun yang lalu.

Penetapan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional cukup kontroversial. Ada beberapa alasan mengapa penetapan Hari Pers Nasional perlu digugat.

Pertama, penetapan Hari Pers Nasional diputuskan melalui SK yang dikeluarkan oleh rejim Soeharto. Pengusul tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional adalah seorang tokoh orde baru, Harmoko, yang saat itu menjabat ketua PWI Pusat.

Penetapan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional sarat dengan kepentingan penguasa saat itu. Selain itu, rejim orde baru punya rekam jejak anti kemerdekaan pers. Sejak 1965 hingga 1998, rejim orde baru berkali-kali membredel media massa.

PWI sendiri adalah satu-satunya organisasi pers yang diakui pada masa orde baru. Dengan demikian, penetapan hari lahir PWI sebagai Hari Pers Nasional hanya akan memperpanjang ketaklukan dunia pers terhadap kekuasaan.

Kedua, penetapan Hari Pers Nasional mengacu pada kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), 9 Februari 1946. Akan tetapi, dalam sejarah Indonesia, PWI bukanlah organisasi wartawan pertama di Indonesia.

Jauh sebelumnya, yakni pada jaman pergerakan anti-kolonialisme, para jurnalis dan aktivis sudah membentuk organisasi wartawan. Pada tahun 1914, Mas Marco Kartodikromo sudah mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB).

Organisasi wartawan lain sebelum PWI adalah Sarekat Journalists Asia (1925), Perkoempoelan Kaoem Journalists (1931), dan Persatoean Djurnalis Indonesia (1940).

Ketiga, penetapan Hari Pers Nasional, yang mengacu pada kelahiran PWI (1946), terkesan mengabaikan andil para perintis pers Indonesia dan sejarah panjang perjuangan pers nasional Indonesia.

Taufik Rahzen, yang cukup lama meneliti soal sejarah pers nasional, mengusulkan tanggal penerbitan pertama Medan Prijaji, koran pribumi pertama yang dinahkodai oleh Tirto Adhisuryo, sebagai tonggak sejarah Hari Pers Nasional: 1 Januari 1907.

Takashi Shiraishi, penulis buku “Zaman Bergerak”, menyebut Tirto sebagai bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui tulisan. Tidak hanya itu, berkat kepandaian menulis dan ketajaman fikiran, Tirto juga perintis model perjuangan nasional modern: koran dan organisasi.

Ini sejalan dengan pendapat Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara, salah satu Bapak Bangsa kita, yang bilang begini: “Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo, ada seorang wartawan modern yang menarik perhatian karena lancar dan tajamnya pena yang ia pegang, yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian berganti nama Tirto Adhi Soerjo. Beliau boleh disebut pelopor dalam lapangan jurnalistik.”

Akan tetapi, versi lain juga menyebutkan bahwa Medan Prijaji bukanlah koran pribumi yang pertama. Di Sumatera, sejumlah koran berbahasa Melayu, yang juga digawangi oleh kaum pribumi, sudah terbit. Selain itu, jika ukurannya adalah orang pribumi dan bahasa Melayu, maka kiprah Abdul Rivai tidak dapat diabaikan. Pada tahun 1900, Abdul Rivai sudah menerbitkan koran berbahasa melayu, Pewarta Wolanda. Lalu, pada tahun 1902, Abdul Rivai kembali menerbitkan koran berhasa Melayu: Bintang Hindia.

Sementara itu, kalau kita mencari jejak sejarah pers pertama kali di Indonesia, maka 160-an tahun sebelum Medan Priayi sudah ada koran di tanah Hindia-Belanda: Bataviasche Nouvelles. Koran ini terbit di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1744-1746.

Jika pers kita anggap tiang penting dari bangunan kebangsaan kita, maka sudah sepantasnya penetapan Hari Pers Nasional ditinjau ulang. Bagi kami, Hari Pers harus ditautkan dengan sejarah kebangkitan nasional.

Sebab, seperti dikatakan Ben Anderson, terbentuk dan berkembangnya sebuah bangsa tak terlepas dari andil kapitalisme cetak, termasuk pers. Dan memang, jika ditelisik ke sejarah nan jauh di masa silam, terbentuknya nation Indonesia tidak bisa dipisahkan oleh aktivitas literasi dan pers. Bapak-Ibu Pendiri Bangsa Indonesia adalah para penulis sekaligus penggerak surat kabar.

Karena itu, sangat janggal, bahkan ahistoris, jika meletakkan Hari Pers Nasional di hari lahir PWI. Sebab, PWI baru berdiri setelah Proklamasi Kemerdekaan. PWI hanya salah satu anak dari Proklamasi Kemerdekaan.

Dengan tetap ngotot melestarikan Hari Lahir PWI sebagai Hari Pers Nasional, itu sama saja dengan memisahkan pers dan sejarah terbentuknya bangsa ini. Sama saja dengan memunggungi kontribusi besar pers bagi lahir dan berkembangnya sebuah bangsa bernama: INDONESIA.

Agak janggal juga, jika kita menyebut Tirto Adhisuryo sebagai Bapak Pers Indonesia, tetapi buah keringat dan pikirannya tak dikaitkan dengan Hari Pers. Semisal Ki Hajar Dewantara, yang kita anggap Bapak Pendidikan, hari kelahirannya jadi Hari Pendidikan Nasional.

Hanya saja, hari kelahiran Tirto juga belum diketahui. Ia hanya diketahui terlahir 1800. Tetapi tanggal dan bulan berapa, itu belum ada keterangan yang valid. Karena itu, agak berat untuk meletakkan Hari Pers pada Hari Lahir Tirto.

Lantas, apa alternatifnya?

Jika kita baca tetralogi Pram dengan seksama, Tirto memang punya kontribusi besar dalam mendorong semakin maju kesadaran nation—yang apinya sudah mulai dinyalakan oleh Kartini dan Multatuli (Douwes Dekker).

Dan kerja-besar Tirto untuk memulai itu selain organisasi, Sarekat Prijaji, adalah mendirikan koran pergerakan pertama: Medan Prijaji. Dalam perkembangannya, Medan Priaji bukan hanya sebuah koran, tetapi menjelma sebagai perusahan pers pribumi pertama: N.V. Medan Prijaji. Perusahaan ini menaungi tiga koran sekaligus, yaitu Medan Prijaji, Soeloeh Keadilan, serta Poetri Hindia.

 

Karena itu, saya setuju dengan ide meletakkan Hari Pers Nasional pada tanggal atau bulan penerbitan pertama Medan Prijaji: Januari 1907. Kalau ragu mengambil tanggal 1 Januari, ya kita ambil bulan Januari sekalian. Jadi, Hari Pers Nasional dirayakan sebulan. 

Dan bila kita hendak membersihkan warisan Orde Baru, termasuk warisan buruknya terhadap pers nasional, mulailah dari mengoreksi Hari Pers Nasional.

Demikian, terima kasih.

 

Oleh: MAHESA DANU


Baca juga: Mencoba Menghapus Stigma Spesialis Wakil