Search

Home / Kolom / Opini

Pro Kontra Pengaturan Euthanasia di Indonesia

   |    13 Mei 2020    |   22:26:59 WITA

Pro Kontra Pengaturan Euthanasia di Indonesia
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Latar Belakang

Hidup merupakan hak asasi setiap manusia yang ada di dunia ini. Bahkan di dalam dunia medis Kedokteran dalam sumpah Hippokrates yang menyatakan bahwa setiap dokter akan menjaga nyawa manusia, dari manusia itu lahir hingga meninggal. Berarti dalam hal ini setiap dokter harus menjaga nyawa dari pasiennya, harus mengupayakan berbagai hal dalam memeriksa pasien agar nyawa pasien dapat diselamatkan. Namun dengan adanya suatu pekembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang kedokteran, maka nyawa manusia dapat ditentukan dengan adanya suatu medis.

Kematian adalah takdir Tuhan namun disisi lain seseorang yang menderita penyakit seolah – olah dapat datur oleh teknologi yang modern. Dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah euthanasia yang berarti bahwa mati tenang dengan baik. Namun dalam hal ini euthanasia menjadi perdebatan dimulai sekitar abad ke-19 degan diberlakukannya Undang-Undang anti euthanasia tahun 1828 di Negara Baian New York Amerika Serikat. Kemudian berkembang di beberapa Negara dunia dengan pokok permasalahan melegalkan atau tidak melegalkan euthanasia. Kemudian berkembang di beberapa Negara dunia dengan pokok permasalahan melegalkan atau tidak melegalkan euthanasia.

Konsep euthanasia menjadi perdebatan, dari pihak yang pro-euthanasia menyatakan bahwa setiap manusia berhak untuk hidup dan hak untuk mengakiri hidupnya dengan segera dengan alasan kemanusian. Kemudian dari pihak konta-euthnasia menyatakan bahwa setiap manusia tidak berhak untuk mengakhiri hidupnya karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Maka dari uraian diatas, kami ingin membahas fokus permasalahan yaitu tentang perlukah melegalkan pengaturan euthanasia di Indonesia ?

 

Hasil Pembahasan

Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang adalah Belanda dan di negara Oregon-Amerika Serikat. Pelaksanaan tersebut dapat dilakukan apabila memenuhi syarat antara lain :

  1. Orang yang diakhiri hidupnya adalah orang yang bener-benar sedang sakit dan tidak diobati, misalnya kanker.
  2. Pasien dalam keadaan terminal, yang kemungkinan hidupnya kecil.
  3. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitanya hanya dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
  4. Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien hanyalah dokter keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilian dari dua orang dokter spesialis yang menetukan dapat tidaknya dilaksanakan

Namun berbeda dengan Negara Indonesia, perbuatan euthanasia dianggap perbuatan yang dilarang dan tidak patut dilakukan dengan alasan menanggu hak untuk hidup seseorang. Jika melihat alasan atau dasar-dasar pembenar euthanasia dilhat dari segi pro-euthanasia, Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian melainkan untuk mengurangi penderitaan. Sehingga euthanasia tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk memperthanakan hidupnya sehingga tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.

Jika melihat alasan atau dasar-dasar pembenar euthanasia dilihat dari segi pro-euthanasia yang berpedoman pada hak pasien yang dapat menolak perawatan atau pengobatan, hak pasien menolak adanya tindakan medis, hak pasien menghentikan perawatan atau pengobatan, kemudian euthanasia dapat mengurangi beban finansial pihak keluarga. muncul istilah euthanasia sebagai Hak Asasi Manusia berupa hak untuk mati, dianggap sebagai sebuah konsekuensi logis dari adanya hak untuk hidup. Namun golongan kontra-euthanasia yang berpedoman bahwa hidup dan mati manusia ada ditangan Tuhan, dokter yang memegang teguh sumpah Hippokrates menolak adanya euthanasia yang bertentangan dengan kewajiban sebagai tenaga kesehatan serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

Dalam Kode Etik Profesi Kedokteran, euthanasia betentangan dengan Pedoman Etik Kedokteran, yaitu Pedoman I yang menyatakan bahwa “Tujuan pokok profesi kedokteran adalah memberikan pelayanan kemanusiaan dan penghargaan yang setinggi – tingginya terhadap martabat manusia”.

 Jika melihat dari pandangan atau perspektif agama yang ada di Indonesia. Maka menurut agama Islam, perbuatan euthanasia adalah perbuatan yang haram karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja walapun niatnya baik untuk meringankan pasien namun tetap saja hukumnya tetap haram. Menurut pandangan agama Kristen dan Katolik yang menyatakan bahwa euthanasia merupakan hal yang terlarang karena soal hidup manusia itu berada ditangan Tuhan.

Kemudian menurut pandangan agama Hindu yang menyatakan bahwa euthanasia adalah didasarkan pada ajaran karma, moksa dan ahimsa dimana seseorang karma yang buruk dapat menjadi penghalang seseorang untuk moksa yaitu terbebas dari putaran reinkarnasi yang menjadi tujuan utama penganut ajaran agama hindu. Ahimsa artinya tidak menyakiti, dan tidak membunuh. Selanjutnya pandangan dari agama Buddha yang menyatakan bahwa euthanasia termasuk pembunuhan manusia, dan perbuatan membunuh manusia dan bunuh diri termasuk pelanggaran parajika.

Melihat Pandangan Euthanasia dalam perspektif HAM merupakan pelanggaran karena menyangkut hak  hidup  dari  pasien  yang  harus  dilindungi. Hak hidup sebagaimana dijamin dalam pasal 28 A adalah suatu hak yang mendasar bagi setiap manusia dimana dalam pasal 28 A dibebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan kehidupannya.

Pandangan euthanasia dilihat dari, hukum Pidana di Indonesia tidak secara tegas mengatur tentang euthanasia. (“KUHP”) mengatur tentang larangan  melakukan euthanasia. yakni dalam Pasal 344 KUHP. Walaupun didalam KUHP Tidak secara tegas menyebutkan kata euthanasia, namun berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan euthanasia adalah suatu tindakan melanggar hukum.

Hukum Pidana di Indonesia jelas-jelas melarang tindakan Euthanasia aktif, tetapi bila terjadi sebuah kasus bilamana ketika dokter sudah menyerah terhadap kondisi pasien, dan pasien tak lagi diberikan obat. Di beberapa kasus, pihak keluarga bahkan sudah membawa pasien itu ke luar rumah sakit agar pasien meninggal di rumah bersama keluarga dekat atau dalam kasus keluarga yang menolak penyuntikan vaksin tehardap anaknya ketika masih bayi karena berbagai alasan tertentu sehingga menyebabkan resiko kematian. Bukankah tindakan ini termasuk Euthanasia Pasif yang mana bisa terkena hukuman dari pasal 304, Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Dari masalah ini lah muncul suatu kekaburan norma hukum di Indonesia. Adanya kajian ulang terhadap hukum yang ada di Indonesia sangat lah diperlukan agar adanya kepastian hukum yang bertujuan untuk melindungi masyarakat di Indonesia.

Di dalam Rancangan KUHP 2019, bahasan mengenai euthanasia tidak ketinggalan didalamnya. Negara meletakkan kekuatan politiknya untuk menempatkan euthanasia sebagai tindakan yang sangat ditentang. Dengan adanya pasal yang secara kongkrit menyebutkan merampas nyawa orang lain atas kemauan orang itu sendirir secara eksplisit pasal 467 dan 468 RUU KUHP . Di dalam Pasal 467 tertulis :

“Setiap Orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”

Sayangnya dalam pembaharuan RKUHP ini pidana yang dimuat lebih ringan dari sebelumnya diatur dalam KUHP pasal 344 :

“Barang siapa merampas orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun “. Hal ini cakupan pengaturan euthanasia dalam KUHP dan RUU KUHP.

 

Kesimpulan dan Saran

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa perbuatan euthanasia yang dilihat dari asepk pandangan agama, hukum hak asasi manusa dan hukum pidana adalah perbuatan yang dilarang dan tidak boleh dilakukan dalam dunia medis. Namun ketentuan atau aturan euthanasia dalam KUHP masih dirasa kurang, maka dari itu perlu ada pertimbangan yang matang dari pemerintah dan kode etik kodekteran supaya tidak memunculkan perbedaan pendapat antara pihak dokterr dan dari pihak pemerintah dalam membuat Undang – Undang.

 

 

 

Daftar Pustaka

Buku

Afriko,Joni, 2016, Hukum Kesehatan (Teori dan Aplikasi) Dilengkapi Undang-Undang Kesehatan dan Keperawatan, IN MEDIA, Bogor.

Asyhadie, Zaeni.2018.Aspek - Aspek Hukum Kesehatan Di Indonesia. Depok :Rajawali Pers.

Jurnal

Arifin Rada. (2013)., EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, Volume XVIII No. 2

 FEBRIANTY SAVAROS, F. I. R. D. A. (2017). EUTHANASIA MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA DAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (RUU KUHP) INDONESIA, (Doctoral dissertation).

 Hayati, N. (2004). Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Kaitannya Dengan Hukum Pidana. Lex Jurnalica, 1(2), 17956.

Isnawan, F. (2015). KAJIAN FILOSOFIS PRO DAN KONTRA DILARANGNYA EUTHANASIA (Doctoral dissertation, Universitas Islam Indonesia).

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Repulik Indonesia tahun 1945

Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Dokumen Elektronik

https://tirto.id/euthanasia-dan-perdebatan-tentang-hak-untuk-mati-cKw3

https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/2695978/pro-kontra-euthanasia

https://tirto.id/euthanasia-dan-perdebatan-tentang-hak-untuk-mati-cKw3

 

 

Oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana;

Jason Wahyudi,

Agus Akbar Fauzi,

Luh Amelia Savitri,

Ketut Dama Arioka,

I Wayan Arsetaya Jaya

I Nyoman Dalem Tri Arcana


Baca juga: Mencoba Menghapus Stigma Spesialis Wakil