Search

Home / Khas /

Upaya Menjaga Kemurnian Demokrasi Pilkada 2020

   |    19 September 2020    |   20:32:50 WITA

 Upaya Menjaga Kemurnian Demokrasi Pilkada 2020
Warga melewati mural bertema Tolak Politik Uang di Kampung Sondakan, Solo, Jawa Tengah, Rabu (22/7/2020). Panitia Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Solo bersama warga setempat memanfaatkan mural untuk sosialisasi guna mengajak masyarakat Solo menggunakan hak pilih dan menolak politik uang dalam Pilkada serentak 2020 mendatang.

DARI sekian banyak persoalan yang mengiringi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 9 Desember 2020, isu politik uang atau money politics selalu mengemuka dan menjadi bahasan hangat.

Meskipun politik uang merupakan isu lama, tetapi selalu menarik perhatian di setiap pilkada. Bahkan sebelum ada pemilihan secara langsung oleh rakyat pun telah ada isu tersebut.

Banyak aturan yang melarangnya, namun kasusnya selalu muncul. Hanya saja membuktikannya secara hukum tak semudah yang dibayangkan.

Pilkada di 270 kabupaten, kota dan provinsi tinggal sekitar 2,5 bulan akan segera digelar secara serentak di Indonesia. Semula pilkada akan disenggarakan 23 September, namun dengan pertimbangan adanya wabah virus corona (COVID-19), akhirnya ditunda hingga 9 Desember mendatang.

Beberapa pihak menyarankan jadwal pencoblosan pilkada ditunda lagi mengingat hingga sekarang wabah masih marak dengan korban terus bertambah setiap hari. Di antara korban terpapar virus ini adalah Ketua KPU Arief Budiman, sejumlah penyelenggara pilkada anggota KPU di daerah, serta calon kepala daerah.

Namun pemerintah dan KPU hingga kini belum memberi sinyal untuk menunda kembali. Harapannya pada saat pencoblosan nanti, virus corona jenis baru tersebut sudah bisa dikendalikan sehingga pilkada serentak 2020 dapat berproses.

Dalam konteks pemenangan calon dalam pilkada inilah, setiap kubu pasangan calon sedang menyusun strategi. Dari cara berkampanye, mendulang suara hingga logistik.
 
Pemodal
Banyak pihak mengakui pilkada langsung ini menghabiskan sumber daya yang besar; mulai dari kegiatan pendulangan suara yang melibatkan jejaring tim sukses hingga kebutuhan sarana kampanye. Itu semua membutuhkan sumber dana atau logistik yang tidak sedikit.

Sumber dana adalah titik krusial dalam strategi pemenangan. Karena itu, banyak pasangan calon yang merekrut orang "berduit" sebagai bagian dari tim suksesnya.

Namun di kemudian hari, tak sedikit kasus yang terjadi akibat pertalian kepentingan itu.

Kasus-kasus yang terungkap menunjukkan pertalian erat antara sejumlah pasangan calon dengan pemodal dalam pilkada mengarah ke pelanggaran hukum. Tak sedikit pertalian itu berujung bui.

Simak saja di mesin pencari data dan beragam media serta platform-platform media sosial tentang penangkapan sejumlah kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah ditelusuri, penangkapan itu terkait dengan proses pemenangan pada pilkada yang lalu.

Persidangan kasusnya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) lebih rinci lagi mengenai pertalian hubungan tersebut. Mulai dari siapa kepala daerahnya, nama proyek, nilai proyek, pengusahanya, oknum di birokrasinya hingga nominal suap atau gratifikasinya.

Inti dari pertalian itu cukuplah dilukiskan dengan kata-kata sederhana tetapi sangat mendalam maknanya. Yakni "tidak ada makan siang yang gratis".

Tentu saja tidak semua kepala daerah dan pemodal dalam pencalonan seperti itu. Tak sedikit calon kepala daerah yang mengikuti proses pilkada secara terhormat sehingga selama periode kepemimpinannya tidak ada persoalan hukum.

Wanti-Wanti
Kini di tengah proses pilkada menuju puncak hari "H", tak sedikit pihak yang mengingatkan agar rivalitas dalam meraih kemenangan di pilkada tidak berujung di Gedung KPK di Jalan Rasuna Said Jakarta.

Di masa pandemi ini peluang terjadinya politik uang juga perlu diantisipasi oleh penyelenggara pilkada bersama penegak hukum.Apalagi kasus itu juga mencuat di setiap pilkada.

Di saat beragam aktivitas warga termasuk ekonomi terganggu akibat wabah, pragmatisme dikhawatirkan melunturkan idealisme pemilih. Persoalan inilah yang tampaknya perlu menjadi perhatian pihak terkait.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, misalnya, juga telah mengingatkan dampak negatif dari pelibatan pemodal sebagai tim sukses. Secara tegas dia menyebut kata "cukong" untuk pemodal atau penyandang dana bagi calon kepala daerah.

Pada acara "Ngopi Bersama Media" di Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Kamis (17/9), Mahfud MD menyatakan kepala daerah terpilih yang saat pilkada dibiayai oleh cukong atau penyandang dana berpotensi melakukan korupsi kebijakan.

"Ini akan akan lebih berbahaya dampaknya ketimbang korupsi biasa, bahkan COVID-19," kata dia.

Menurut dia, sering setelah terpilih kepala daerah (yang dbiayai pemodal) tersebut membuat kebijakan yang tidak sesuai dengan undang-undang. Seperti mengeluarkan izin pertambangan yang sudah diberikan oleh kepala daerah sebelumnya kepada orang baru.

Korupsi kebijakan ini lebih berbahaya dari korupsi biasa karena sifatnya berlanjut. Kalau korupsi biasa hanya sekali, ada APBN lalu dikorupsi, dihukum lalu selesai, tetapi kalau (korupsi) kebijakan tidak seperti itu.

Apakah ada buktinya kepala daerah yang dibiayai cukong terlibat korupsi? Dia berkata "Buktinya sudah banyak".

Kalau tidak percaya silahkan datang ke Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin di Bandung, Jawa Barat. Datanya lengkap di sana.

"Banyak tuh yang hasil operasi tangkap tangan oleh KPK," ujar Mahfud.

Dibiayai Cukong
Hal itu juga terkonfirmasi oleh hakim peradilan pilkada saat Mahfud menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Terungkap bahwa hampir semua yang terlibat pilkada, kemudian berperkara di MK, mengatakan mereka dibiayai cukong.

Mahfud juga merujuk pada data yang telah dikeluarkan KPK. Sebanyak 82 persen calon kepala daerah yang ikut pilkada dibiayai oleh cukong.

"Cukong itu dalam KBBI artinya adalah orang yang membiayai orang lain. Bahkan lebih banyak cukongnya ketimbang calon," ungkapnya.

Jika sponsor, itu orangnya jelas. Sementara cukong ini orangnya tidak kelihatan dan diam-diam.

Pernyataan Menko Polhukam ini tegas dan lugas yang patut diapresiasi sehingga pilkada bisa bebas dari perilaku yang mencoreng demokrasi.

Pernyataan itu sekaligus juga merupakan kode keras agar calon kepala daerah menghindari politik uang sehingga pilkada benar-benar berlangsung jujur dan adil (jurdil).

Di tengah wabah ini, pemerintah bersama penyelenggara pemilu dan aparat keamanan berusaha mengerahkan segala sumber daya untuk mewujudkan pilkada yang lebih baik.

Akhirnya, meski di tengah pembatasan untuk mengerem laju penularan virus corona, jangan sia-siakan kesempatan untuk bersama-sama menghadirkan demokrasi yang berkualitas.

(ANT/ISU/PDN)


Baca juga: Wabup Sanjaya Melaksanakan Persembahyangan di Pura Luhur Muncak Sari