Search

Home / Aktual / Gaya Hidup

Medsos Bikin Film Horor Kian Digandrungi

Editor   |    27 Juni 2024    |   20:03:00 WITA

Medsos Bikin Film Horor Kian Digandrungi
Ilustrasi menonton film horor. (stutterstock)

GENRE film horor dan kriminal belakangan ini kian digandrungi dan menjadi perbincangan menarik bagi masyarakat Indonesia.

Bahkan, antusiasme masyarakat sangat tinggi ketika beberapa film bergenre serupa rilis. Sebut saja “KKN di Desa Penari” dan “Vina: Sebelum 7 Hari”.

Menurut beberapa pengamat, tingginya antusiasme masyarakat Indonesia terhadap film produksi Tanah Air juga dipengaruhi oleh masifnya promosi lewat media sosial (Medsos).

Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga (Unair) Igak Satrya Wibawa PhD turut mengomentari soal tingginya antusiasme masyarakat Indonesia terhadap film horor.

“Film-film yang bergenre horor maupun kriminal sebenarnya terbantu oleh aspek lain di luar narasi. Misalnya, pemasaran. Sebagai contoh, film ‘KKN Desa Penari’ yang ceritanya sudah viral dulu di media sosial. Bisa dibilang promosi yang masif juga memberikan efek positif, bahkan sebelum film itu dirilis,” kata Igak, seperti dilansir laman Unair, Rabu (26/6/2024).

Adrenalin

Igak menekankan bahwa film horor memiliki potensi yang lebih tinggi untuk diterima masyarakat Indonesia. Hal tersebut dipengaruhi oleh jalan cerita yang relatif sederhana dan dorongan adrenalin.

Menurutnya, masyarakat cenderung ingin mencari sensasi ‘kaget’ atau ‘takut’ yang dialami saat menonton film horor.

“Saya pribadi kurang setuju kalau film ‘Vina’ bisa membantu mengusut kasus kriminal seperti yang dihebohkan di berita-berita. Selesai atau tidaknya sebuah kasus itu bukan peran film, tetapi kepolisian. Walaupun demikian, film ‘Vina’ bisa membantu mengangkat kembali isu kriminal yang belum terselesaikan. Itu memang erat kaitannya sama viral culture di Indonesia ketika pemerintah cenderung bertindak kalau kasusnya viral lebih dulu,” ungkapnya.

Di luar itu, film “Vina” juga menjadi pembicaraan hangat terkait kasus kriminal yang diangkat. Sejauh ini, ada dua pendapat mengenai isu tersebut.

Pendapat pertama menganggap film “Vina” sudah menerobos batas moralitas karena produsen film menjadikan kasus pemerkosaan sebagai ladang untuk meraup keuntungan.

Pendapat kedua justru menganggap film “Vina” sebagai film bergenre kriminal biasa yang tidak perlu dipermasalahkan.

Sudah banyak film bertopik kisah nyata yang rilis di Indonesia, misalnya “Sum Kuning”, “Arie Hanggara”, dan “Marsinah”. Namun, ketiganya dirilis saat penggunaan media sosial tidak semasif sekarang. Kondisi semacam itu tentu berbeda dengan “Vina” maupun “KKN di Desa Penari” yang dirilis saat penggunaan media sosial sudah masif.

“Jelas media sosial memiliki peran besar dalam mengubah perilaku masyarakat. Misalnya, antusiasme masyarakat yang tinggi terhadap cerita horor di media sosial mendorong rumah produksi untuk menjadikannya film. Ke depannya, viral culture akan menjadi kontributor yang signifikan untuk memproduksi film di Indonesia,” jelasnya. (riki/suteja)


Baca juga: Kenali Diabetes Anak dan Pencegahanya