Search

Home / Aktual / Edukasi

Bukan Bangun SMA Unggulan, Tapi Pemerataan Pendidikan

Editor   |    21 Januari 2025    |   22:21:00 WITA

Bukan Bangun SMA Unggulan, Tapi Pemerataan Pendidikan
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar SMA Unggulan. (inversi)

PEMERINTAH melalui Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek) berencana membangun sekolah unggulan yang akan mempersiapkan siswanya untuk melanjutkan pendidikan ke universitas top.

Sekolah unggulan tersebut berada di jenjang SMA dengan nama SMA Unggulan Garuda. Sebanyak 20 SMA Unggulan Garuda ini ditargetkan akan selesai dibangun pada 2029.

Menanggapi wacana tersebut, Pakar Sosiologi Pendidikan Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Tuti Budirahayu angkat bicara. Pembangunan SMA Unggulan Garuda belum memiliki urgensi yang jelas, hal ini karena tidak didasarkan atas kajian yang mendalam serta data atau peta data pendidikan di Indonesia.

Program Ambisius

Prof Tuti menyebut program SMA Unggulan Garuda sangatlah ambisius dan prestisius. Hal ini dikarenakan pembangunannya yang direncanakan pada daerah pedesaan atau pelosok. Menurutnya, alih-alih membangun sekolah baru yang berkualitas, pemerintah seharusnya meningkatkan kualitas sekolah yang sudah ada dan melakukan pemerataan pendidikan di semua jenjang sekolah.

“Menurut saya, ada hal-hal yang harus dicermati dari pernyataan menteri dan Wamen Dikti Saintek, karena ada kecenderungan argumentasi mereka tidak konsisten dan bahkan kontradiktif.  Urusan membangun SMA bukan kewenangan Kemendikti Saintek, tetapi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, karena SMA adalah ranahnya kementerian tersebut,” jelas Prof Tuti melalui keterangan tertulis, Selasa (21/1/2025)

Fokus Sains dan Teknologi

Prof Tuti menyampaikan fokus SMA Unggulan Garuda pada materi Science, Technology, Engineering, and Mathematics (STEM) bukan ilmu sosial yang dapat menyebabkan turunnya jiwa sosial siswa.

Menurutnya, pernyataan itu tidak konsisten dengan apa yang disampaikan oleh wamen dikti saintek terkait tujuan membangun sekolah unggulan untuk menumbuhkan kepekaan terhadap masalah lokal.

“Ini sangat tidak masuk akal jika tidak memasukkan muatan-muatan ilmu sosial. Bagaimana siswa dapat memiliki kepekaan terhadap persoalan lokal di wilayah tempat mereka belajar, jika tidak diasah pengetahuannya tentang masalah-masalah sosial, budaya, dan politik. Tentunya semakin lama jiwa sosial siswa akan semakin menurun,” ungkapnya.

Hal ini semakin didukung dengan adanya label unggulan yang secara tidak langsung mengatakan bahwa siswa yang diterima hanya yang unggul saja. Dengan demikian kesan eksklusif akan lebih terasa yang akan membawa masalah baru bagi pendidikan di Indonesia yaitu munculnya kesenjangan, diskriminasi serta ketimpangan sosial.

“Jika tujuannya untuk menyiapkan siswa berkuliah di universitas top, maka pemerintah cukup mencari siswa yang mampu lalu diberikan bimbingan. Selain itu, daripada membangun sekolah baru akan lebih baik jika dapat meningkatkan kualitas sekolah yang sudah ada. Program bridging bagi siswa SMA juga dapat dilakukan untuk mempersiapkan mereka masuk ke universitas top,” tambahnya. (riki/suteja)


Baca juga: PKM Unwar Bina UMKM Ekonomi Kreatif Uang Kepeng Kamasan