"Deburan ombak di Kuta kini terdengar seperti ratapan, ditinggalkan para pelancong yang memilih gemerlap Canggu. Dua wajah Bali Selatan, sebuah drama pariwisata yang menggambarkan kesenjangan antara kemajuan dan kemunduran." BALI Selatan, panggung dramatis pariwisata Pulau Dewata, menyajikan tontonan ironi yang menyedihkan. Di satu sisi, Canggu bersinar terang benderang, menarik wisatawan dengan pesona modern dan gemerlap kemewahan. Di sisi lain, Kuta, sang legenda yang dahulu diagungkan, meredup dalam kesunyian, toko-tokonya layu seperti rumah hantu, menyimpan kenangan kejayaan yang memudar. Dulu, Jalan Legian di Kuta berdenyut dengan kehidupan. Musik berdentum, tawa menggema, dan aroma dagangan bersaing memikat wisatawan. Toko-toko berjejer rapat, harga sewanya melambung hingga puluhan juta rupiah per bulan. Kini, tirai besi menutupi etalase-etalase kosong. Pintu-pintu terkunci, debu tebal menutupi barang-barang yang ditinggalkan. Sunyi senyap, kecuali deru angin yang berbisik tentang masa lalu. Canggu, di sisi lain, merayakan pesta pembangunan. Lahan sawah berubah menjadi vila-vila mewah, klub-klub malam, dan restoran-restoran megah. Harga tanah melambung, menciptakan orang-orang kaya baru dalam semalam. Namun, euforia ini membawa dampak buruk. Kemacetan melumpuhkan jalanan, tata ruang kota amburadul, dan angka kriminalitas melonjak. Alih fungsi lahan menggusur masyarakat lokal, mereka yang dahulu adalah pemilik lahan kini terpinggirkan, terancam menjadi penonton di kampung halamannya sendiri. Wisatawan asing, dengan modal besar, membangun bisnis-bisnis ilegal, merebut kue ekonomi dari tangan warga lokal. Konflik laten antara warga lokal dan pendatang mengintai. Ini adalah cerminan dari pertumbuhan pariwisata yang tak terencana, sebuah mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Bali, yang seharusnya menjadi surga, kini menghadapi masalah klasik kota-kota besar: kemacetan, kesemrawutan, kriminalitas, dan ketimpangan ekonomi. "Kuta seperti kota mati," keluh seorang pedagang lokal. "Dulu, toko saya selalu ramai. Sekarang, hanya segelintir wisatawan yang lewat." Sementara itu, di Canggu, seorang pengusaha vila asing tersenyum lebar. "Bisnis di sini sangat menjanjikan," ujarnya. "Wisatawan suka dengan suasana modern dan mewah." Kontras ini, Kuta yang mati suri dan Canggu yang berkilauan, adalah peringatan bagi Bali. Pulau Dewata harus segera berbenah, menata kembali pariwisatanya, agar tidak kehilangan jati diri dan berubah menjadi kota beton yang kehilangan jiwanya. (isu/suteja)