Search

Home / Aktual / Sosial Budaya

Jejak Musafir, Harmoni di Tanah Dewata

Editor   |    31 Maret 2025    |   23:35:00 WITA

Jejak Musafir, Harmoni di Tanah Dewata
Ilustrasi kerukunan umat Hindu dan Muslim di Bali. (podiumnews)

Bukan tentang ukiran batu atau tarian sakral, tetapi tentang doa-doa yang berpadu di antara gunung dan laut. Tentang bagaimana perbedaan iman tak menjadi jurang, tetapi jembatan yang menghubungkan hati. Di tiga desa terpencil, di jantung Pulau Bali, kisah toleransi terukir, bukan dalam prasasti, melainkan dalam laku hidup sehari-hari.

Di tiga desa ini, seperti tiga untai benang, merajut toleransi dalam sebuah kain budaya yang unik. Bukan tentang pura megah atau tarian sakral, tetapi tentang bagaimana doa-doa dari arah berbeda saling melengkapi, menciptakan simfoni kehidupan yang indah.

Tengoklah, Desa Pegayaman, Buleleng, harmoni itu terpancar dalam getaran azan dan dentang lonceng pura. Keduanya bersahutan, seperti dua melodi yang menari di udara senja, menciptakan simfoni toleransi yang merdu. Ngejot, tradisi berbagi sesaji, adalah bahasa universal yang melampaui perbedaan keyakinan, sebuah ritual sederhana yang menguatkan jalinan persaudaraan.

Selanutnya Desa Gelgel, Klungkung, menyimpan jejak masa lalu, tempat benih-benih iman baru bersemi di tanah yang kaya tradisi. Masjid-masjid kuno, dengan arsitektur yang memadukan sentuhan Timur Tengah dan lokal, menjadi saksi bisu dialog budaya yang telah berlangsung berabad-abad. Batu-batu tua ini berbisik tentang bagaimana keyakinan berbeda dapat berdampingan, menciptakan keindahan yang unik.

Lalu, ada Kampung Bugis, Serangan, Denpasar, tempat perahu pinisi, simbol kejayaan maritim, berlayar di tengah perayaan Maulid. Keturunan pelaut ulung dari Sulawesi Selatan ini bukan pendatang, melainkan bagian integral dari mosaik Bali. Mereka menenun tradisi bahari mereka ke dalam ritme kehidupan lokal, menciptakan corak budaya yang kaya dan beragam.

Menyama braya, konsep persaudaraan universal, menjadi napas yang menggerakkan kehidupan di tiga desa ini. Toleransi bukan tentang mengabaikan perbedaan, tetapi tentang merayakan keberagaman. Ia adalah tarian sakral, di mana setiap gerakan mencerminkan keindahan keberadaan yang berbeda. Di tengah gelombang modernitas, desa-desa ini tetap menjaga nyala api toleransi, sebuah pelajaran bagi Indonesia dan dunia. (isu/suteja)


Baca juga: NUSA DUA CIRCLE, Mega Proyek ‘Gagal’. Benarkah Perusahaan dan Orang-Orang yang Terlibat Didalamnya Juga Bermasalah? (BAG: 1)