KATA ngrombo mulai akrab dalam pemberitaan media lokal di Bali. Maknanya sederhana yaitu gotong-royong mengatasi masalah bersama yang dihadapi termasuk soal pelik masalah sampah di Pulau Dewata. Istilah ngrombo ini kali pertama dipopulerkan oleh Penjabat (Pj) Gubernur Bali SM Mahendra Jaya yang telah lebih sebulan menjabat sebagai Orang Nomor Satu di Bali. Ia selalu menggunakan istilah ngrombo untuk segala program prioritas yang mesti dijalankan terutama permasalahan yang memerlukan keterlibatan atau partisipasi berbagai pihak maupun masyarakat. Mulai dari masalah kemiskinan ekstrem, stunting hingga problem pelik sampah. Demikian juga halnya saat ia menerima audiensi Sungai Watch, sebuah organisasi nirlaba yang konsen terhadap penanganan sampah plastik di Bali, pada Rabu (25/10/2023) di Denpasar. Dalam kesempatan itu, Mahendra Jaya mengapresiasi atas kepedulian dari organisasi Sungai Watch untuk membantu Bali menangani permasalahan sampah. Ia mengakui, bahwa permasalahan sampah di Bali merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan sulit atau pelik untuk diatasi. Untuk itu menurutnya, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, melainkan membutuhkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karenanya, Mahendra mengajak Sungai Watch dan organisasi relawan lingkungan lainnya untuk ngrombo atau bergotong-royong mengentaskan permasalahan sampah di Bali. Pihaknya pun selalu terbuka jika para relawan memberikan masukan yang membangun kepada pemerintah daerah terkait pengentasan masalah sampah di Bali. “Sampah di Bali tidak tersortir, itu kendalanya,” ungkap Mahendra jaya. Ia menambahkan bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprv) Bali sejak awal telah berencana untuk menutup TPA Suwung dengan mengalihkan pengelolaan sampah di daerah Sarbagita menuju TPST serta TPS3R yang ada saat ini. Namun hal tersebut masih terkendala oleh kapasitas pengolahan sampah yang belum maksimal. “Tadinya TPST Kertalangu kita harapkan 400 ton per hari tapi prakteknya hanya 150 ton sedangkan produksi sampah di Bali 1100 ton per hari untuk Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan .red),” ungkapnya. Terkait TPA Suwung, Mahendra Jaya menyampaikan bahwa kebakaran di TPA Suwung dan TPA lainnya memberikan pelajaran semua pihak bahwa pemilahan sampah memang benar-benar harus dilakukan. Terlebih Bali sudah memiliki peraturan daerah (Perda) penanganan sampah berbasis sumber. Jika perda ini dimaksimalkan maka beban TPA tidak terlalu berat. Untuk itu perubahan paradigma di masyarakat terkait pemilahan sampah harus dibangun. “Saya harap ke depan kita bisa memasukan ke dalam kurikulum sampai ke tingkat TK dalam penerapan pemilahan sampah, sehingga sedari dini telah terbentuk generasi yang memiliki karakter bisa memilah sampah dengan baik,” ucapnya. Selain itu, ke depan Mahendra juga akan melakukan optimalisasi penerapan Perda Pemprov Bali No 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah, khususnya pada penegakan hukum jika terjadi pelanggaran dalam pembuangan sampah sembarangan. Untuk itu, Mahendra berharap dengan adanya langkah-langkah preventif dari semua pihak pengelolaan sampah di Bali dapat diatasi. Sementara itu, Founder Sungai Watch Gary Bencheghib mengatakan Sungai Watch merupakan sebuah organisasi nirlaba/yayasan yang memiliki fokus untuk menghentikan laju sampah plastik sebelum masuk ke laut dengan cara membersihkan sungai dengan memasang jaring sampah. Selain kegiatan pembersihan, organisasi tersebut juga melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat sekitar. “Kami telah mengidentifikasi 350 lebih tempat pembuangan sampah ilegal di Bali (titik oranye) Kami berusaha untuk membersihkan semua tempat pembuangan terbuka ilegal ini melalui pembersihan mingguan dan darurat, namun ke depan kami ingin keterlibatan Pemda Kabupaten dalam menertibkan TPA ilegal yang semakin menjamur,” pungkasnya. Sehingga memang sudah saatnya untuk mengatasi masalah pelik sampah membutuhkan kesadaran dan keterlibatan semua pihak tanpa terkecuali. Karena masalah sampah adalah masalah bersama yang juga mesti diselesaikan secara bersama-sama dengan semangat bergotong-royong atau ngrombo. (adhy/sut)