“…tentu masuk kualifikasi wanprestasi dan harus diselesaikan secara keperdataan… dalam kondisi tertentu, yang bersangkutan (debitur) juga berpotensi dilaporkan secara pidana… sepanjang ada bukti yang cukup….” (Advokad I Nyoman Agus Trisnadiasa, SH, MH) HUBUNGAN hukum antara kreditur dan debitur dalam konteks perjanjian kredit murni bersifat keperdataan. Jika di dalam pelaksanaannya, tebukti bahwa debitur melalaikan kewajibannya, maka yang bersangkutan dapat dituntut untuk segera menuntaskan segenap utang, bunga, dan denda kredit. Apabila kemudian terbukti ada tipu muslihat yang dilakukan sejak awal oleh pihak debitur, sehingga mengakibatkan kreditur bersedia memfasilitasi pemberian kredit, maka ada potensi bagi kreditur untuk melaporkan si debitur atas dugaan tindakan penipuan. Perjanjian kredit merupakan isitlah yang lazim digunakan dalam praktik perbankan. Sederhananya, perjanjian kredit merupakan dokumen tertulis yang mendeskripsikan tentang hak dan kewajiban antara debitur (berhutang) dan kreditur (bank sebagai pemberi hutang), termasuk mengatur ihkwal obyek agunan dan teknis penyelesaian kredit bahkan penyelesaian sengketa, bila dikemudian hari salah satu pihak melanggar isi perjanjian. Utamanya soal isu “melanggar isi perjanjian”, biasanya tindakan sebagaimana dimaksud dapat berupa tiga hal, yaitu: tidak memenuhi prestasi (kewajiban), terlambat memenuhi prestasi (kewajiban), dan/atau tidak sempurna memenuhi prestasi (kewajiban). Ketiga hal tersebut yang selanjutnya dikenal dengan istilah “wanprestasi” dalam keilmuan hukum. Di dalam praktik perbankan, banyak ditemui adanya tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pihak debitur. Guna menyikapi tindakan tersebut, maka bank umumnya akan menempuh mekanisme penyelesaian secara keperdataan sebagaimana tertuang di dalam perjanjian kredit yang telah disepakti oleh para pihak (kreditur, debitur). Mangkir dari utang sudah barang tentu masuk kualifikasi wanprestasi dan harus diselesaikan secara keperdataan. Namun pola penyelesaiannya tidak boleh langsung dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan (litigasi), sehubungan ada mekanisme non litigasi yang patut dikedepankan, yang sifatnya lebih menguntungkan para pihak, misalnya resktrukturisasi utang (kredit). Bisa saja dengan pola restrukturisasi utang (kredit) misalnya, meskipun restrukturisasi itu sejatinya bukan hal wajib yang harus diberikan oleh kreditur kepada debitur. Apabila upaya non litigasi tidak kunjung membuat debitur patuh untuk melaksanakan kewajibannya sebagai pihak berhutang, maka kreditur berhak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan negeri setempat dengan bersandar pada beberapa ketentuan Pasal, diantaranya: Pasal 1234 KUH Perdata, Pasal 1238 KUH Perdata, Pasal 1239 KUH Perdata. Adapun mengacu pada ketentuan 1131 KUH Perdata, maka gugatan sebagaimana dimaksud tentu akan membawa dampak terhadap harta benda milik debitur baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 1132 KUH Perdata, kreditur juga diposisikan sebagai pihak yang memiliki hak istimewa terhadap harta benda yang dijadikan agunan kredit oleh debitur, misalnya agunan berupa tanah yang telah dibebankan hak tanggungan dan/atau agunan berupa kendaraan bermotor yang telah dibebani fidusia. Adakalanya bank selaku kreditur justru melaporkan debiturnya yang wanprestasi dalam ranah pidana. Peristiwa ini bukan berarti keliru, sepanjang bank memiliki bukti yang kuat untuk menunjukan bahwa debitur memang terbukti melakukan serangkaian tindakan tipu muslihat yang bertujuan memperdaya bank untuk mau menggelontorkan kredit kepada yang bersangkutan. Sebagai penegasan, bank wajib berhati-hati jika sampai pada opsi melaporkan debitur dalam ranah pidana. Namun demikian tidak semua perbuatan tidak melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandang sebagai penipuan, dalam kondisi tertentu, yang bersangkutan (debitur) juga berpotensi dapat dilaporkan secara pidana. Bisa saja bank melaporkan debiturnya dengan sangkaan Pasal 378 KUHP (penipuan), sepanjang ada bukti yang cukup bahwa perjanjian dibuat dengan didasari itikad buruk/niat jahat, seperti memakai nama palsu, mertabat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan yang dapat merugikan orang lain. Jadi semua pihak harus berhati-hati. Bahkan ada juga oknum yang berusaha untuk memperkaya diri atau dengan sengaja mencari penghidupan dengan cara membuka hutang ke beberapa kreditur dan kemudian yang bersangkutan sengaja melalaikan kewajibannya serta tidak akan membayar lunas utang tersebut. Dalam kondisi demikian, si pemberi hutang tentu dapat dipandang sebagai korban. Jika terdapat bukti yang mendukung bahwa debitur melakukan tindakan sebagaimana dimaksud sebagai modus, maka yang bersangkutan dapat diancam pidana berdasarkan ketentuan Pasal 379 a KUHP. Sebagai penutup, bahwa prinsip penting yang harus dipahami dalam hubungan utang-piutang sangatlah sederhana, yakni pihak yang berhutang (debitur) wajib melunasi utang kepada pemberi hutang (kreditur). Jika masih tercatat bahwa utang (kredit) itu belum lunas, maka debitur harus melaksanakan kewajibannya sampai dengan utang (kredit) tersebut benar-benar lunas, apabila utang dibiarkan atau bahkan ditelantarkan oleh debitur, maka konsekwensi hukumnya, seluruh aset Debitur akan menjadi tanggungan dari utang tersebut dan bank sewaktu-waktu dapat menggugat, menyitan dan melelang aset milik Debitur tersebut, karena itu sudah merupakan hukumnya. Prinsip ini hendaknya dipegang teguh bagi semua pihak yang memiliki rencana untuk mengajukan permohonan kredit kepada bank. (*)
Baca juga:
Bebal