SUSASTRA (sastra yang indah atau tinggi) merupakan salah satu aspek penting yang berperan besar dalam perjalanan budaya dan intelektual bangsa Indonesia. Susastra juga masih menjadi pelajaran di sekolah tingkat dasar hingga universitas. Seiring berjalanya waktu, akibat globalisasi, susastra mulai tergantikan dengan konten-konten media sosial (Medsos). Akibatnya, tidak jarang eksistensi susastra dipandang sebelah mata. Mengenai hal itu, Ahli Bahasa dan Sastra Universitas Airlangga (Unair), Dr Mochtar Lutfi memberikan tanggapan. Menurutnya, masyarakat Indonesia cenderung memiliki budaya sebagai pendengar sehingga berpengaruh pada minat baca. “Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan cenderung lebih suka mendengarkan orang bercerita daripada membaca,” tuturnya dilansir laman Unair, Rabu (27/3/2024). Pembenahan Kebijakan Realitas saat ini menunjukkan bahwa media sosial memberikan berbagai penawaran konten yang memicu berkurangnya peminat susastra. Padahal, kata Lutfi, susastra memiliki peran penting dalam membangun intelektual dan minat baca masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kurikulum studi khususnya di sekolah harus diperbaiki. “Siswa di sekolah seharusnya kita arahkan untuk memiliki minat baca yang tinggi melalui bacaan-bacaan yang bernilai seperti kisah Ramayana dan Mahabarata. Setelah menyukai bacaan seperti itu, para siswa akan lebih mudah kita arahkan untuk membaca buku lain yang lebih rumit karena minat baca telah terbentuk,” ujar Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair itu. Situasi yang terjadi saat ini menuntut adanya kebijakan yang konsisten terkait penerapan kurikulum susastra. Misalnya, para siswa wajib untuk membaca sastra sebagai syarat kelulusan. Tentunya, kebijakan itu juga harus selaras dengan penyediaan buku bacaan yang berkualitas. “Orang Jepang rata-rata meminjam hingga lebih dari 100 buku di perpustakaan per tahun, hal itulah yang membuat mereka menjadi negara maju. Kita bisa menirunya dengan mulai mewajibkan siswa sekolah untuk membaca buku sebagai upaya peningkatan minat baca,” terang Lutfi. Peran Akademisi Lutfi mengatakan, para akademisi khususnya yang mendalami bidang susastra Indonesia harus berperan aktif dalam membangkitkan susastra di Indonesia. Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Unair sendiri, lanjutnya, telah menerapkan kurikulum untuk mewajibkan para mahasiswa untuk membaca susastra berupa prosa, puisi, dan drama. “Kami di program studi Bahasa dan Sastra Indonesia Unair telah mewajibkan para mahasiswa membaca minimal 100 buku dalam setahun agar mereka memiliki referensi yang lebih banyak dan berkualitas,” terang Lutfi. Lutfi berharap, memperbanyak bacaan, para mahasiswa bisa menciptakan karya sastra berkualitas dan dapat dinikmati banyak orang. (suteja)
Baca juga:
ChatGPT Bisa Gantikan Peran Google? Begini Penjelasan Dosen Unair