JAKARTA,PODIUMNEWS.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI fokus pada upaya menemukan lebih banyak kasus tuberkulosis (TBC) melalui optimalisasi deteksi dini atau skrining. Langkah ini mendukung Program Hasil Cepat Terbaik (PHCT) atau Quick Win penanganan TBC yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Daerah padat penduduk menjadi sasaran utama dalam penemuan kasus TBC. Investigasi kontak juga dilakukan oleh tenaga kesehatan atau kader, dengan minimal 8 orang diperiksa untuk setiap kasus TBC yang ditemukan. Sekretaris Ditjen Penanggulangan Penyakit, dr. Yudhi Pramono, MARS, menjelaskan alasan pemilihan daerah padat penduduk sebagai fokus utama temuan kasus TBC. "Daerah padat penduduk memiliki kepadatan orang yang tinggi dalam ruang terbatas. Kondisi ini meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit TBC, yang menular melalui udara saat seseorang yang terinfeksi TBC batuk atau bersin," ujarnya, dalam keterangan tertulis, Senin (3/2/2025). Ia menambahkan, kepadatan penduduk berkaitan erat dengan tingginya angka kasus TBC, karena kondisi lingkungan yang mendukung penyebaran penyakit, terutama terkait dengan sirkulasi udara yang buruk. Menurut, studi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta yang dilakukan oleh Triana Srisantyorini dkk, mengungkapkan korelasi signifikan antara kepadatan penduduk dan peningkatan kasus TBC di DKI Jakarta antara 2017 hingga 2019. Kondisi ini terjadi karena kepadatan penduduk mempercepat penularan penyakit melalui udara atau droplet, seperti TBC. "Semakin padat suatu wilayah, semakin mudah kuman menyebar dan terhirup oleh banyak orang. Selain itu, kurangnya sirkulasi udara di daerah padat penduduk meningkatkan risiko infeksi dan mempercepat penyebaran penyakit," sambung dr Yudhi. Ia memnyebut, pemeriksaan TBC kini dilakukan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR), yang mampu mendeteksi DNA Mycobacterium tuberculosis (MTB) secara in vitro. "PCR TBC memiliki sensitivitas tinggi dan menjadi metode diagnostik cepat untuk TBC paru. PCR juga dapat mendeteksi resistensi MTB, yang tidak bisa ditemukan melalui metode mikroskopis (Bakteri Tahan Asam/BTA)," jelas dr. Yudhi. Berdasarkan Surat Edaran (SE) Dirjen P2P Nomor HK.02.02/III.1/936/2021, Tes Cepat Molekuler (TCM) ditetapkan sebagai alat diagnosis utama untuk TBC di Indonesia. "TCM adalah alat diagnostik cepat berbasis PCR yang mendeteksi bakteri MTB penyebab TBC. Hingga saat ini, Indonesia telah memiliki sekitar 2.430 TCM yang tersebar di seluruh provinsi dan kabupaten/kota," tambahnya. Namun, pengambilan sampel dahak menjadi tantangan dalam diagnosis, karena tidak semua pasien dapat mengeluarkannya. Untuk itu, Indonesia tengah melakukan studi validasi klinis alat diagnostik PCR menggunakan spesimen dari tongue swab (usap lidah), yang diperkirakan akan selesai pada Februari 2025. Penelitian ini dilakukan oleh Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) dengan dukungan Bill & Melinda Gates Foundation. "Jika validasi ini berhasil, inovasi ini akan menjadi solusi dalam pengambilan spesimen yang lebih mudah dibandingkan dahak yang sulit diperoleh," tegasnya. Sebagai bagian dari Quick Win Kesehatan, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan insidensi TBC dan meningkatkan deteksi dini melalui berbagai strategi, termasuk optimalisasi skrining di daerah padat penduduk, penguatan layanan diagnostik dengan teknologi PCR dan TCM yang lebih cepat dan akurat, serta percepatan penelitian inovasi diagnosis berbasis spesimen air liur. "Investigasi kontak secara agresif, dengan minimal 8 orang diperiksa untuk setiap kasus TBC yang ditemukan, juga menjadi fokus utama," imbuhnya. Twrqkhir ia menyebut, pemerintah menargetkan eliminasi TBC di Indonesia pada 2030, sejalan dengan target global WHO. "Dengan strategi yang terintegrasi dan dukungan penuh dari tenaga kesehatan, kader, serta masyarakat, Indonesia semakin optimis dalam menekan angka kejadian TBC,"pungkasnya. (Fathur).
Baca juga:
Upayakan Kelor Mampu Saingi Ginseng Korea