Search

Home / Kolom / Opini

Memaknai Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

   |    10 September 2021    |   20:30:07 WITA

Memaknai Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
(Foto: Istimewa)

“Kedaulatan adalah kemandirian yang tak terpengaruh oleh siapapun atau apapun dan tak tunduk pada apapun. Tak bergantung pada orang lain untuk mengatur kehidupan sendiri. Tak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Tunduk pada nilai kemanusiaan dan keadilan. Itulah berdaulat!” 

 

Wajah mega bintang Lionel Messi terlihat begitu kecewa. Pertandingan tim nasional (timnas) Argentina vs Brasil pada lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Amerika Selatan, yang berlangsung di Neo Quimica Arena, São Paulo Brazil, Senin (6/9), dihentikan otoritas kesehatan Brasil-ANVISA. Karena adanya dugaan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19. Anvisa menduga empat pemain Argentina melanggar aturan keharusan karantina 14 hari bagi pendatang dari Inggris. Keempat pemain tersebut Buendia dan Martinez bermain untuk Aston Villa, sedangkan Lo Celso dan Romero bermain Bersama Tottenham Hotspur.  

Hampir semua orang di kolong langit ini pasti tahu siapa Lionel Messi. La Pulga – “Si Kutu” julukan untuk Messi, dibuat tak berdaya. Padahal Messi adalah pemilik empat penghargaan Ballon d'Or, diantaranya diraih secara berturut-turut, yakni pada 2009-2012, dan seabrek rekor fantastis tersebut, Biasanya orang yang memiliki nama besar, memiliki privilege (hak istimewa) dan orang segan untuk “mengganggu” nya. Namun tidak dengan Anvisa. Tak peduli nama besar Messi atau Neymar da Silva Santos Junior, yang juga bisa disejajarkan dengan Messi. Bagi masyarakat Brazil, olahraga -dimana 22 orang berlari kesana kemari, memperebutkan “si kulit bundar” untuk dimasukan ke gawang lawan, adalah “jalan hidup”. Tapi Anvisa memiliki otoritas dan kedaulatan untuk menghentikan pertandingan yang paling digemari umat manusia di muka bumi ini. 

Tunda dulu Anvisa, kita set back ke belakang. 20 tahun yang lalu, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie, di depan Consultative Group in Indonesia (CGI,-negara-negara pemberi utang kepada Indonesia), menyatakan ketidakberdayaannya dan sekaligus keberaniannya mengkritik CGI.  Berikut kutipan awal pidatonya Kwik Kian Gie: 

“Ketika saya menerima tugas untuk mempersiapkan pidato dengan judul “Penggunaan Bantuan Asing secara Efektif/effective use of foreign aid” segera saja saya dihadapkan pada dilema. Di satu pihak adalah kewajiban saya sebagai pejabat pemerintah untuk memaparkan kepada Anda kebijakan dan kemajuannya dalam menggunakan bantuan asing secara efektif. Di lain pihak saya sangat malu dihadapkan pada suatu tugas untuk membenarkan pengemisan untuk memperoleh utang untuk bangsa kami. Perasaan ini lebih diperparah dengan kenyataan bahwa jumlah utang luar negeri kita sudah melampaui semua batas-batas kesinambungan dan kepatutan. Faktor lain adalah bahwa saya tidak dapat menjamin bahwa hutang yang Anda berikan tidak akan dikorup lagi seperti yang selalu telah terjadi di masa lampau. Namun saya memutuskan hadir di hadapan Anda sekalian, karena saya tahu bahwa tanpa (pinjaman) baru dari negara-negara sahabat dan kreditor Indonesia, rakyat kita akan lebih menderita lagi”. 

Pidato Kwik yang disampaikan pada 7-8 November 2001 tersebut, juga mengkritik definisi “loan” dan “aid”. Indonesia membayar hutang (loan) dengan mengajukan “loan” baru untuk membayar cicilan hutang. Indonesia pada waktu itu hampir bankrupt. Pidato yang tanpa tedeng aling-aling “menusuk” ulu hati CGI dan pejabat-pejabat Indonesia saat itu. Mungkin “menusuk” kepekaan pejabat saat ini juga.  

Jelas pada waktu Kwik berpidato, Bangsa Indonesia tak berdaulat. Karena Indonesia harus “mengemis” utang untuk menjaga tetap berlangsungnya kehidupan rakyat. Indonesia pada saat itu dijerumuskan pada mekanisme pasar. Dimana pengutang menentukan bagaimana “kehidupan” (baca-persyaratan pengelolaan sistem ekonomi dan lembaga) harus dijalankan. Otoritas negara “disandera”. Padahal seharusnya rumusan kebijakan ekonomi tidak melepaskan kewajiban dan peran negara untuk mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan. 

"Saya diberi arahan olehnya (Gus Dur) tentang kebijakan dasar yang harus saya tempuh. Bahwa pemerintah harus adil, sebagai garda terdepan dan membela keadilan sosial yang sebelumnya didominasi oleh pelaku bisnis tertentu. Gus Dur sudah mengetahui bahwa keadilan tidak bisa dicapai melalui kadar mekanisme pasar yang sebesar mungkin. Liberalisme yang dominan memang akan menghasilkan pertumbuhan yang cepat namun juga disertai dengan ketidakadilan dan kesenjangan yang sangat besar” kata Kwik. 

Anvisa dan Kwik Kian Gie tak ada hubungannya. Tak sama soal berdaulat dan tidak berdaulat. Anvisa punya kuasa, kedaulatan dan otoritas. Sementara posisi Kwek yang mewakili bangsanya yang tak berdaulat. Walau Kwiek tetap berani untuk menohok CGI dengan kritiknya. 

“Kedaulatan adalah kemandirian yang tak terpengaruh oleh siapapun atau apapun dan tak tunduk pada apapun. Tak bergantung pada orang lain untuk mengatur kehidupan sendiri. Tak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Tunduk pada nilai kemanusiaan dan keadilan. Itulah berdaulat!” 

Tak ada keadilan sosial tanpa keberdaulatan! Daulat Rakyat! Bukan Daulat Pasar! Bukan daulat Tuanku! Kedaulatan melahirkan kesejahteraan. Tapi kapan dan siapa yang berdaulat?.

Oleh: Kang Marbawi, Kasubdit Penyelenggara Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP dalam Seri Belajar Ringan Filsafat Pancasila ke 62 , Memaknai Sila Kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” , Bagian ke 3.

(COK/RIS/PDN)

Baca juga :
  • Pancasila: Bakti Kesetiaan Tanpa Tanya
  • Xana, Enrique dan Paris Saint-Germain
  • Orang Bali Takut Marah?