ISTANA Tampaksiring di Bali bukan sekadar bangunan megah. Lebih dari itu, ia adalah manifestasi nyata dari visi Presiden Soekarno tentang kepemimpinan yang berakar kuat pada nilai-nilai spiritual dan budaya lokal. Dibangun di tengah keindahan alam Pulau Dewata, istana ini menjadi simbol harmoni antara manusia, alam, dan nilai-nilai luhur Bali. Visi Proklamator di Tanah Dewata Ide pembangunan Istana Tampaksiring muncul langsung dari Bung Karno pada pertengahan 1950-an. Sebagai sosok yang sangat mencintai Bali, ia menginginkan sebuah istana yang tak hanya berfungsi sebagai tempat peristirahatan atau jamuan tamu negara, tetapi juga mampu menyerap dan memancarkan esensi keindahan serta kedalaman budaya Bali. "Bung Karno memiliki apresiasi mendalam terhadap budaya Bali, melihatnya sebagai salah satu pilar identitas nasional yang kaya," demikian dijelaskan dalam "Soekarno dan Arsitektur Nasional" (2010) oleh Dr Purnomo Hadi. "Beliau ingin Istana Tampaksiring merefleksikan semangat itu, bukan sekadar gaya arsitektur Barat." Dengan arahan langsungnya, para arsitek seperti RM Soedarsono dan F Silaban merancang kompleks istana ini secara terintegrasi dengan lanskap perbukitan dan mata air suci yang telah lama dihormati masyarakat setempat. Pemilihan lokasi di dekat Pura Tirta Empul, sebuah pura dengan mata air suci, jelas bukan kebetulan; itu adalah pilihan yang sarat makna spiritual dan budaya. Arsitektur Bali: Menyatukan Alam dan Kosmologi Filosofi arsitektur Bali menjadi fondasi utama dalam perancangan Istana Tampaksiring. Setiap bangunan—dari Wisma Merdeka, Wisma Yudhistira, Wisma Bima, hingga Wisma Garuda—dibangun dengan prinsip Tri Hita Karana. Ini adalah konsep tiga penyebab kebahagiaan yang menekankan hubungan harmonis: antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan sesama (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan). "Istana Tampaksiring adalah contoh langka bagaimana prinsip Tri Hita Karana diintegrasikan secara holistik dalam desain arsitektur kenegaraan," seperti diuraikan dalam artikel "Harmoni Alam dan Ruang dalam Arsitektur Istana Tampaksiring" (Jurnal Arsitektur Nusantara, Vol. 7, No. 2, 2019) oleh Prof Dr I Nyoman Darma Putra. "Bangunan-bangunannya seolah `tumbuh` dari kontur tanah yang berbukit, menunjukkan keselarasan yang mendalam dengan alam. Penggunaan material lokal seperti batu alam, kayu, dan genteng tanah liat semakin memperkuat koneksi dengan lingkungan sekitarnya." Udara pegunungan yang sejuk dan pemandangan hijau yang membentang menjadi bagian tak terpisahkan dari pengalaman berada di istana ini. Tata letak kompleks istana juga mencerminkan semangat kosmologi Bali. Meskipun tidak meniru pakem pura secara harfiah, pembagian ruangnya mengadopsi konsep hirarki sakral (lebih tinggi) dan profan (lebih rendah), selaras dengan pandangan hidup masyarakat Bali. Setiap detail, mulai dari ukiran hingga orientasi bangunan, membawa makna simbolis yang kaya, menegaskan nilai-nilai luhur dan spiritualitas pulau ini. Kepemimpinan yang Berakar pada Rakyat Bagi Bung Karno, Istana Tampaksiring adalah perwujudan cita-citanya tentang seorang pemimpin yang tak terpisahkan dari rakyat dan tanah airnya. Ia meyakini bahwa pemimpin sejati adalah "raja yang menyatu dengan rakyat dan tanahnya", sebuah konsep yang dalam tradisi Nusantara sering dikaitkan dengan Raja Diraja. "Pemilihan Bali sebagai lokasi istana kepresidenan ini mencerminkan keinginan Soekarno untuk menonjolkan identitas kebudayaan Indonesia yang beragam," menurut analisis dalam buku "Kepemimpinan Soekarno dan Simbolisme Bangunan Negara" (2015) oleh Dr Budiarto Rahardjo. "Beliau ingin istana ini menjadi simbol bahwa kepemimpinan ideal tak terpisah dari realitas bangsanya, melainkan memahami, menghargai, dan mengangkat nilai-nilai lokal." Dengan membangun istana di Bali, Bung Karno menegaskan identitas Indonesia yang kaya budaya daerah, sekaligus menunjukkan kepada dunia bahwa kekuatan bangsa ini berakar pada keragaman dan spiritualitasnya. Ia berharap para pemimpin, termasuk dirinya sendiri, selalu membumi dan terinspirasi oleh kekayaan Indonesia. Istana Tampaksiring, dengan arsitekturnya yang selaras alam dan spiritualitasnya yang kental, adalah bukti nyata bagaimana seorang pemimpin visioner dapat mengubah bangunan menjadi simbol kekuatan budaya dan integritas bangsa. Ia adalah warisan abadi dari Bung Karno, pengingat bahwa kepemimpinan sejati bersemi dari tanah, budaya, dan hati nurani rakyatnya. (*) Penulis: Redaksi Podiumnews
Baca juga :
• Bung Karno: Politik dalam Simbol Bali
• Bali Inspirasi Politik Bung Karno
• Kuta, Jejak Dampak Konflik Politik Dunia