BUNG Karno memiliki lebih dari sekadar darah Bali; ia punya jejak spiritual dan cinta kultural yang membentuk caranya memimpin negeri ini. Dari tanah leluhur hingga ekspresi seni, Bali menjadi bagian tak terpisahkan dari napas panjang hidup Soekarno. Estetika dan Jiwa: Pandangan Dunia Sang Pemimpin Kutipan dari Bhagavad Gita, "Di antara semua keindahan, Akulah kecantikan," bukan hanya penggalan spiritual bagi Bung Karno. Ini adalah cara ia memandang dunia—penuh estetika, penuh jiwa. Tak heran jika Bali menjadi bagian penting dalam jalan hidupnya. "Ingat, aku adalah anak Ida Ayu Nyoman Rai, keponakan Raja Singaraja, wanita dari Bali," ujar Bung Karno dalam biografi otoritatifnya, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Pernyataan ini bukan sekadar penegasan identitas, tetapi pernyataan afeksi yang mendalam. Bagi Bung Karno, Bali bukan sekadar tanah leluhur, tapi juga tanah batin yang membentuk karakternya. Inspirasi Nusantara dari Pulau Dewata Bung Karno bukan hanya pemimpin politik; ia adalah pemikir yang hidup dalam napas budaya. Kecintaannya terhadap seni rupa, arsitektur, dan simbol-simbol Nusantara menjadikan Bali sebagai episentrum inspirasinya. Dalam banyak kesempatan, ia menjadikan Bali sebagai referensi harmoni dan keindahan, dari cara menata taman istana hingga memilih lukisan yang akan dipajang. Kurator seni Mikke Susanto, dalam wawancara dengan Antara News, menyatakan, "Kecintaan Bung Karno terhadap karya seni itu membawa Bung Karno dekat dengan banyak seniman, terutama pelukis." Salah satu pelukis Bali yang sangat dekat dengannya adalah I Gusti Nyoman Lempad. Lukisan-lukisan Lempad bahkan menghiasi ruang-ruang penting di istana negara, menjadi saksi bisu kedekatan mereka. Spiritualitas Semesta dalam Pemikiran Bung Karno Lebih dari sekadar estetika, Bung Karno juga menyerap spiritualitas Bali dalam dirinya. Pandangan kosmologis masyarakat Bali tentang harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan—konsep Tri Hita Karana—terpantul dalam konsep-konsep besar yang ia suarakan tentang kebangsaan dan kemanusiaan universal. "Spiritualitas semesta Bung Karno tampak dari bahasa teologisnya yang melintas batas berbagai agama dan tradisi spiritual," ujar sejarawan agama Dr. Bambang Noorsena dalam artikelnya tentang Bhinneka Tunggal Ika dan pemikiran religius Bung Karno. Ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai Bali turut memperkaya pemikiran pluralis Sang Proklamator. Bagi Bung Karno, Bali bukanlah daerah eksotik untuk pariwisata semata. Bali adalah pusat kearifan. Sebuah tempat di mana keindahan tak hanya dipajang, tapi dijalani. Sebuah ruang di mana kepemimpinan bukan hanya administrasi, tapi laku budaya dan spiritual. Kini, puluhan tahun setelah wafatnya, jejak Bung Karno di Bali masih terasa. Bukan hanya pada patung dan nama jalan, tapi dalam denyut kebudayaan yang terus hidup, dalam cara orang Bali menyebut "Putra Sang Fajar" itu dengan nada bangga—sebagai anak Bali juga. (*) Penulis: Redaksi Podiumnews
Baca juga :
• Bung Karno, Seniman Bali: Cinta dalam Lukisan
• Menyibak Jiwa Kartini: Perspektif Sastra Pramoedya Ananta Toer
• Dari Pesisir, Keberanian Perempuan Mengukir Sejarah