HARI ini, tanggal 1 Juni, kita memperingati Hari Lahir Pancasila. Lebih dari sekadar daftar tanggal merah atau seremonial kenegaraan, momen ini mestinya menjadi jeda krusial untuk menakar kembali nilai-nilai fundamental yang telah kita warisi sebagai bangsa.
Di antara sila-sila yang agung itu, yang kerap kita hafal, ada satu benang merah tak tertulis yang mengikatnya: kesetiaan. Ia bukan hanya milik teks, melainkan milik laku, tercetak dalam setiap napas kehidupan berbangsa. Dan dalam khazanah sejarah serta sastra kita, khususnya melalui kisah-kisah wayang Nusantara, kita telah mewarisi teladan tentang bentuk paling sunyi dari kesetiaan: yang tidak bertanya, hanya membela.
Untuk memahami kedalaman konsep kesetiaan ini, kita bisa menengok pada sebuah mahakarya klasik Jawa, Serat Tripama. Ditulis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV pada abad ke-19, serat ini adalah warisan berharga seorang penguasa yang juga budayawan dan sastrawan. "Tripama" sendiri berarti "tiga teladan" atau "tiga perbandingan".
Serat ini disusun dalam bentuk tembang Macapat, berisi nasihat-nasihat mendalam tentang kepemimpinan, kesempurnaan seorang ksatria, dan budi pekerti luhur. Uniknya, Mangkunegara IV menggunakan perbandingan sifat-sifat unggul dari tiga tokoh pewayangan untuk mencerminkan nilai-nilai ideal bagi para abdi negara, prajurit, dan rakyat. Ketiga tokoh ini adalah cerminan dari kesetiaan dalam wujudnya yang paling murni dan tak pamrih.
Tokoh pertama adalah Adipati Karna, simbol paling tragis dan mendalam dari kesetiaan. Putra sulung Kunti dan Dewa Surya ini dibuang sejak lahir, menelan pahitnya diskriminasi sebagai anak kusir. Hidupnya berubah ketika Duryodhana, raja Hastinapura, melihat potensi dalam dirinya dan mengangkat martabatnya sebagai Adipati Anga. Budi baik inilah yang mengikat Karna.
Kemudian, saat kebenaran terungkap—bahwa ia adalah kakak kandung para Pandawa—Karna dihadapkan pada dilema mahabesar. Ibunya memintanya pulang ke kubu Pandawa, yang sejatinya adalah saudara-saudaranya. Namun, jawaban Karna tenang, namun tajam: ia lebih memilih mati membela orang yang telah memberinya kehormatan, ketimbang hidup dalam kenyamanan darah.
Dalam Serat Tripama, Mangkunegara IV menjadikan Karna sebagai teladan pengorbanan dan keteguhan pada janji, menunjukkan bahwa menjaga kata-kata dan komitmen adalah esensi seorang ksatria sejati. Kesetiaan Karna bukan soal menang atau kalah, untung atau rugi.
Bahkan menjelang ajalnya, di tengah sekaratnya perang Bharatayuddha, ia diuji oleh Krishna—yang menyamar sebagai Brahmana—untuk memberikan sedekah. Dalam kondisi tak berdaya, Karna tetap memberi. Konon, karena kesetiaan dan integritasnya yang luar biasa, ia adalah satu-satunya manusia yang jenazahnya disemayamkan di tangan Batara Wisnu. Sebuah pengakuan ilahi, bukan karena ia di pihak yang "benar" secara moral, tetapi karena ia setia pada janji dan kehormatannya.
Lalu ada Kumbakarna, adik Rahwana dari Kerajaan Alengka. Sebuah simbol yang serupa, namun dengan spektrum kesetiaan yang berbeda. Kumbakarna adalah sosok yang cerdas dan berhati nurani. Ia tak sepakat sedikit pun dengan tindakan kakaknya yang menculik Dewi Sita. Namun, ketika negerinya diserang oleh pasukan Rama, Kumbakarna tetap turun ke medan perang. Mengapa? Karena baginya, membela negeri adalah bentuk dharma tertinggi.
Ia tahu melawan Rama adalah jalan menuju kematian, tetapi sebagai abdi kerajaan Alengka, ia memilih gugur sebagai pembela tanah air ketimbang mengingkari sumpahnya. Dalam Serat Tripama, Kumbakarna adalah cerminan ksatria yang menempatkan kewajiban terhadap bangsa dan negara di atas segala-galanya, bahkan di atas perselisihan pribadi dengan pemimpinnya. Ia mengajarkan bahwa kesetiaan pada tanah air adalah panggilan suci yang melampaui kepentingan diri atau bahkan kebenaran individu.
Tokoh ketiga yang tak kalah mendalam adalah Sumantri, atau Patih Suwanda dari Maespati. Kisahnya penuh dengan dilema antara ambisi, janji, dan pengorbanan. Sebagai patih yang sangat berbakti kepada rajanya, Prabu Arjunasasrabahu, Sumantri digambarkan sangat setia menjalankan perintah. Namun, hidupnya terjalin erat dengan janji-janji yang harus ia tepati, termasuk janji yang akhirnya berujung pada kematian adiknya, Sukrasana, dan kemudian kematiannya sendiri.
Dalam Serat Tripama, Sumantri menjadi teladan bakti dan pengorbanan, mengajarkan konsekuensi dari setiap janji yang diucapkan dan pentingnya menjaga kehormatan diri hingga titik darah penghabisan. Kisahnya mengingatkan kita bahwa kesetiaan bukan hanya kepada orang lain, tetapi juga kepada diri sendiri, kepada integritas dan kata-kata yang telah terucap.
Di tengah dunia hari ini yang kerap menimbang segala hal dari untung dan rugi, yang mengukur harga diri dari jumlah pengikut dan keuntungan materi, kesetiaan seperti mereka terasa janggal. Kita hidup di era di mana janji mudah diucap dan mudah diingkari, di mana loyalitas seringkali dihitung berdasarkan keuntungan pribadi semata.
Namun, bangsa ini, yang dibangun atas dasar gotong royong dan pengorbanan, justru bertahan dan maju karena masih ada—dan semoga selalu ada—orang-orang yang mau berdiri di belakang kebenaran meski tak diundang, mau membela meski tak diminta. Mereka yang, seperti Karna, Kumbakarna, dan Sumantri, memilih memegang teguh kata-kata yang telah diucapkannya, bahkan jika harga yang harus dibayar adalah segalanya. Mereka adalah pahlawan-pahlawan sunyi yang menjadi fondasi tak terlihat dari persatuan dan keberlangsungan bangsa.
Semoga Pancasila tak hanya dihafal, tapi dihayati. Dan semoga di Hari Lahir ini, kita tak hanya mengenang sejarah, tapi meneladani: bahwa menjadi setia bukan tentang siapa yang menang, tapi siapa yang rela kehilangan segalanya demi memegang prinsip dan kehormatan yang telah diucapkan. Karena pada akhirnya, seperti Karna, Kumbakarna, dan Sumantri, mereka mungkin mati, tapi tak pernah kalah dalam jiwa. Kesetiaan sunyi mereka adalah nyala api yang tak lekang oleh zaman, terus membimbing kita menemukan esensi sejati dari kebangsaan yang utuh dan bermartabat. (*)
(Menot Sukadana)
Baca juga :
• Nelayan Yang Sekolah
• Sampah Plastik
• Bali Aman untuk Siapa?