TAK diundang dan entah datang dari mana. Setiap membuka situs internet berbasis World Wide Web (www) saya selalu menemukan iklan perumahan. Seolah lalat yang langsung merubung goreng ikan ketika dihidangkan. Iklan ini langsung nemplok. Ikut mejeng memasarkan berbagai macam tipe rumah. Dari mulai harga ratusan juta hingga milyaran. Ditambah iming-iming diskon dan banjir hadiah. Juga iklan lainnya. Menyatu, di jaringan www, yang ditemukan Tim Berners Lee dari CERN (Conseil européen pour la recherche nucléaire), organisasi ilmiah internasional yang berbasis di Jenewa, Swiss. Temuan orang London ini, seolah sabda nabi yang diikuti dan merubah 180 derajat kelakuan manusia seantero dunia. Dan dia pun diganjar Nobel bidang komputer. Berderet nama-nama pengembang, perumahan “Santai Damai”, “Gunung Mas Indah”, “Bumi Mentaram Sejahtera”, “Merapi View”, dan berbagai nama perumahan lainnya. Nama perumahan yang selalu ditempelkan dengan diksi “indah”, “sejahtera” dan “damai”. Seolah nama-nama itu menunjukkan harapan yang pasti didapat para pembeli yang akan menghuninya. Walau kadang tak berbanding lurus dengan cicilan dan promo iklannya. Kedamaian itu barang gaib. Namun bisa dirasa oleh beningnya hati, bak embun di pucuk daun talas. Tak cukup dengan kata indah, sejahtera dan damai, Nama perumahan pun kadang ditambah embel-embel “Regensi”, “Residence”, “Village”, “Clusture”, “Nirwana” dan embel-embel mentereng lainnya. Agar terkesan mewah dan eksklusif. Dan memang, regensi tak bisa disamakan dengan rumah di kampung yang tak butuh nama perlente. Bisa kapiran. Pemilihan, pengaturan dan penamaan perumahaan itu memang disengaja oleh para Tauke. Ini untuk menarik minat konsumen. Sebab banyaknya fulus -kekuatan ekonomi, menjadi alat untuk menunjukkan identifikasi diri dan sosial. Ada juga Tauke yang keranjingan paham tertentu, penamaan perumahannya genit sewarna agama. Tengok saja perumahan dengan nama-nama mentereng yang mengidentifikasi satu golongan saja, -eksklusif. Agar yang beda rupa warna, agama, pandangan, ideologi, atau lecek fulusnya, tak salah masuk. Perumahan model ini adalah bounded system, sebuah realitas masyarakat yang dijalin karena nilai-nilai tertentu. Nilai yang dijejalkan karena kesamaan paham, suku, agama atau tempat nongkrong atau anggota adu jangkrik. Tak menerima yang beda letak hidung atau mata. Apalagi suku, agama dan paham. Komunalisme atau kebersamaan yang berwarna-warni seperti Pelangi setelah hujan, bertekuk lutut dalam penataan identifikasi ekonomi dan sosial satu warna. Hilang seolah debu tertiup angin. Berganti dengan nilai-nilai baru yang di negosiasikan melalui simbol, pasar, ekonomi dan praktik sosial. Tak lupa praktik keagamaan dan paham ikut adu tawar. Bounded system menjadi alatnya. Tak hanya perumahan. Segala rupa perkumpulan pun dirasuki, bounded system. Mendedahkan bentuk solidaritas baru dengan logika yang dipaksa sama, sesuai dengan pelakon yang terlibat dalam proses konstruksinya. Asal isinya sama, tak boleh beda. Yang beda adalah the others, orang lain yang tak pantas ada. Cara pandang the others, membentengi bauran masyarakat seperti berbaurnya orang dipasar rakyat. Yang tak peduli bau keringat dari kuli atau pedagang ikan. Selama masih dalam teritori pasar, semua adalah warga pasar yang saling menghormati dan berbagi untung sesuai kadar dagangan. Tak lebih. Perumahan eksklusif seolah meruang kembali GHETTO yang dipermak modern. Dulu ghetto adalah bentuk diskriminasi pemisahan orang ditempat yang tertutup, kumuh, padat, bersarang bersama para kecoa dan segala jenis binatang pengerat atau pengutil. Tanpa sarana prasarana manusiawi. Istilah ghetto merujuk pada pemukiman kaum minoritas. Tertindas! Itu dulu. Salahkah Tauke, membuat ghetto eksklusif untuk pemilik hepeng banyak? Atau menampung segolongan orang yang segalanya hampir sama. Tentu tidak! Malah dianjurkan. Asal tak memunggungi aturan. Menjamurnya ghetto eksklusif, menaikkan derajat kemajuan sebuah kota. Dianggap berhasil melancungkan pembangunan dan taraf hidup masyarakat. Praktik dan pranata sosial baru yang terjadi di ghetto eksklusif, membanting ikatan-ikatan tradisional. Seperti petinju yang meng KO (Knock Out) lawannya. Terkapar, terjungkal tak mampu berdiri tegak. Budaya lokal kehilangan kontrol terhadap lahirnya jabang bayi sistem sosial eksklusif tertentu -bounded system. Otoritas tradisional semacam, pupuhu, leube’, kepala suku, kepala rukun warga dan jabatan kepala-kepala tradisional lainnya, teronggok lesu dipojok. Percis kucing disiram air. Kehilangan otoritas, silau oleh sistem yang dibangun oleh logika pasar, ekonomi, sosial dan paham tertentu itu. Padahal kearifan lokal bisa menjadi salah satu negosiasi kompetitif sebagai kontrol sosial dan jalan ketiga pada pusaran arus pasar global. Bukan The Third Way nya Anthony Giddens. Agar ghetto perumahan lebih berwarna seperti di pasar tradisional. Semua bisa masuk dan berdagang apa saja, asal saling menjaga dan menghormati. Tak peduli bau anyir ikan, bau keringat, atau warna kulit dan agama. Oleh: Kang Marbawi, Kasubdit Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Nonformal Informal BPIP. Jakarta, (13/01/2022) . (COK/RIS/PDN)
Baca juga:
Legalitas Keputusan Pemerintah SKB yang Legitimatif