Search

Home / Sorot / Sosial Budaya

Menyibak Jiwa Kartini: Perspektif Sastra Pramoedya Ananta Toer

Editor   |    21 April 2025    |   17:10:00 WITA

Menyibak Jiwa Kartini: Perspektif Sastra Pramoedya Ananta Toer
ILUSTRASI: Kartini, dengan pena di tangan, merajut mimpi dan gagasan di tengah lautan ilmu.(podiumnews)

“Kartini, dalam sentuhan sastra Pramoedya, adalah pemberontak hati, intelektual yang kesepian namun teguh, merangkai harapan bagi kaumnya, jejak pemikirannya abadi.”

DI TENGAH peringatan Hari Kartini, kita tidak hanya mengenang simbol emansipasi, tetapi juga menelusuri kedalaman sosoknya melalui interpretasi seorang sastrawan besar: Pramoedya Ananta Toer dalam "Panggil Aku Kartini Saja."

Melalui keahliannya merangkai kata dan menyelami jiwa manusia, Pramoedya menghadirkan Kartini bukan sekadar ikon sejarah, melainkan seorang individu yang kompleks, seorang pemberontak lembut, seorang intelektual yang haus ilmu, dan seorang perempuan yang bergulat dengan zamannya.

Sebagai seorang sastrawan, Pramoedya memiliki kebebasan artistik untuk melampaui catatan-catatan sejarah dan merajut narasi yang menyentuh dimensi emosional dan psikologis Kartini.

Dalam karyanya, kita mungkin akan menemukan Kartini yang tidak tunggal, melainkan sosok yang diwarnai kontradiksi. Kecintaannya pada akar budaya Jawa berbenturan dengan kerinduannya akan kemajuan Barat yang ia serap melalui bacaan dan surat-menyurat.

Statusnya sebagai bangsawan tidak menghalanginya untuk memiliki empati yang mendalam terhadap penderitaan rakyat jelata. Impiannya akan pendidikan tinggi bagi perempuan terbentur pada kenyataan pingitan yang membatasi ruang geraknya.

Pramoedya mungkin akan menggambarkan pemberontakan Kartini bukan dalam bentuk perlawanan fisik, melainkan melalui kekuatan kata-kata. Surat-suratnya menjadi senjata ampuh yang perlahan namun pasti merobohkan tembok-tembok ketidakadilan tradisi. Kita akan melihat bagaimana Kartini, dengan kecerdasan dan ketajaman pemikirannya, mampu meruntuhkan argumen-argumen yang selama ini mengekang kaum perempuan.

Karya Pramoedya kemungkinan besar akan menyoroti dahaga Kartini akan ilmu pengetahuan. Keterbatasan akses terhadap pendidikan formal justru memicu semangat belajarnya yang luar biasa. Melalui korespondensi intens dengan sahabat-sahabatnya di Belanda, Kartini membuka jendela dunia dan menyerap berbagai pemikiran modern. Buku-buku Barat menjadi sumber inspirasi yang menguatkan keyakinannya akan pentingnya pendidikan bagi kemajuan perempuan.

Namun, di balik kekaguman para sahabatnya, Pramoedya mungkin juga akan menggambarkan kesepian dan keterasingan yang dialami Kartini di tengah lingkungannya sendiri. Ide-idenya yang progresif seringkali tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat sekitarnya yang masih terikat kuat pada tradisi. Pergulatan batin Kartini dalam menyuarakan pemikirannya di tengah arus konservatisme mungkin menjadi salah satu fokus narasi Pramoedya.

Lebih dari sekadar biografi, "Panggil Aku Kartini Saja" sebagai karya sastra mungkin akan merangkai bagaimana warisan pemikiran Kartini terus relevan hingga kini. Judulnya sendiri mengandung makna yang dalam, sebuah keinginan Kartini untuk dilihat sebagai seorang individu dengan pemikiran dan aspirasi, melampaui sekadar gelar kebangsawanan.

Melalui lensa Pramoedya, kita diajak untuk memahami Kartini sebagai manusia utuh dengan segala kompleksitasnya, seorang pelopor yang jejak pemikirannya terus menginspirasi perjuangan kesetaraan dan kemanusiaan di Indonesia.

Dengan demikian, membaca Kartini melalui karya Pramoedya Ananta Toer memberikan dimensi yang lebih kaya dan mendalam. Kita tidak hanya belajar tentang fakta sejarah, tetapi juga merasakan gejolak jiwa seorang perempuan luar biasa yang berjuang untuk pencerahan di tengah kegelapan zamannya, sebagaimana ditangkap dan dihidupkan kembali oleh seorang maestro sastra.

(isu/suteja)

Baca juga :
  • Dari Pesisir, Keberanian Perempuan Mengukir Sejarah
  • Dari Jepara: Keberanian Ratu, Mimpi Kartini Menyala
  • Bali, Nusa Damai yang Terkoyak