Search

Home / Sorot / Edukasi

Pamer Gaya Mewah Anak Pejabat Ditjen Pajak

   |    04 Maret 2023    |   18:28:00 WITA

Pamer Gaya Mewah Anak Pejabat Ditjen Pajak
Mario Dandy berpose dengan mobil mewah Robicon (foto/instagram/@mariodandyss)

PERILAKU Mario Dandy Satrio, anak pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Aulun Trisambodo yang memiliki harta Rp56 miliar sedang menjadi sorotan publik. Pasalnya, Mario Dandy kerap memamerkan berbagai barang mewah di media sosial, dan kini ia ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan terhadap David Ozora (17).

Akibat perbuatan sang anak yang melakukan penganiayaan terhadap David merupakan anak dari salah satu pengurus pusat GP Ansor, Rafael Alun mesti dicopot dari jabatannya di Ditjen Pajak. Dia juga mengaku akan mengundurkan diri dari ASN Ditjen Pajak. Selain itu, gara-gara harta Rp56 miliar Rafael yang tertera dalam LHKPN, ia pun kemudian harus dipanggil KPK.

Terkait perilaku Mario Dandy yang gemar membagi konten tentang barang-barang mewah yang dimilikinya, Pengamat Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada (UGM) Lu’luatul Chizanah, S.Psi, MA menyebut hal itu merupakan tindakan flexing. Tindakan ini sengaja dilakukan untuk  menunjukkan kepemilikan material maupun properti yang dianggap bernilai bagi kebanyakan orang.

“Flexing menjadi fenomena yang mencuat seiring dengan perkembangan media sosial. Kehadiran media sosial memberi kesempatan bagi orang-orang untuk lebih menunjukkan diri atas kepemilikan material atau properti yang dianggap memiliki nilai bagi kebanyakan orang,” jelasnya, Selasa (28/2).

Dosen Fakultas Psikologi UGM ini menyebutkan orang yang melakukan flexing di media sosial salah satunya ditujukan untuk mendapatkan pengakuan dalam kelompok. Dalam konteks pembentukan relasi atau pertemanan, membutuhkan pengakuan agar bisa diterima di lingkungan tertentu. 

“Teknik manajemen impresi dengan memamerkan barang-barang mewah dilakukan untuk membuktikan jika ia layak masuk dalam komunitas tertentu. Harapannya dengan memamerkan tas branded maka orang lain akan menilai saya layak masuk kalangan elite,”paparnya.

Orang yang menunjukkan perilaku flexing di media sosial disampaikan Lu’luatul Chizanah mengindikasikan self esteem atau harga diri yang lemah. Tanpa disadari orang yang kerap melakukan flexing sebenarnya tidak mempunyai kepercayaan terhadap nilai dirinya. Flexing dilakukan sebagai upaya untuk menutupi kekurangan harga diri dengan membuat orang lain terkesan.

“Dengan mem-posting sesuatu yang dinilai berharga bagi  kebanyakan orang dan di-like ini seperti divalidasi, merasa hebat dan berharga karena orang-orang menjadi kagum pada dirinya,”terangnya.

Lu’luatul Chizanah menyampaikan perilaku flexing bisa menimbulkan pandangan yang tidak tepat di masyarakat terkait kepemilikan material. Sebab apa yang di unggah oleh pelaku flexing bisa dipercayai oleh pengguna media sosial akan pentingnya kepemilikan material.

“Bisa terbentuk pandangan, akan dihargai kalau punya sesuatu. Ini kan jadi pemahaman yang berbahaya sementara aspek lainnya akan diabaikan,”ucapnya.

Perilaku flexing ini juga akan berdampak buruk ke arah impulsif buying. Seseorang akan menjadi sangat impulsif untuk membeli barang-barang branded hanya untuk flexing. Apabila flexing ditujukan untuk mengatasi self esteem rendah, maka hal tersebut hanya bersifat semu dan tidak berujung sert abersifat adiktif. Flexing justru menghalangi seseorang untuk mengatasi self esteem secara efektif.

“Kalau flexing dilakukan sebagai awal pemantik perhatian dan selanjutnya menunjukkan sesuatu yang lebih esensial seperti kompetensi, personaliti yang baik itu tidak masalah. Akan jada masalah jika flexing ini jadi satu-satunya cara untuk manajemen impresi, jadi toksik bagi diri sendiri,”urainya.

Lu’luatul Chizanah mengatakan tindakan tidak mengkomparasikan diri dengan orang lain yang berada di atas dirinya bisa menjadi salah satu cara untuk mencegah seseorang agar tidak terjebak pada perilaku felxing.

“Coba untuk melihat ke bawah, jangan ke atas terus karena akan ada dorongan untuk flexing jika melihat ke atas. Kalau melihat ke bawah justru akan muncul rasa syukur,” katanya.

Ia menambahkan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menunjukkan perilaku flexing. Kemampuan mengelola diri untuk melakukan flexing atau tidak menjadi sangat penting.

“Flexing untuk menunjukkan pencapaian, sesekali tidak apa. Namun, saat kalau tidak posting menjadi cemas ini harus jadi alarm diri,” terangnya.

Jangan pamer kekayaan

Anggota Komisi III DPR RI Santoso menegaskan kepada para ASN Ditjen Pajak yang mempertontonkan kekayaan di publik mesti didisiplinkan karena menyiratkan kuasaan jabatannya digunakan untuk tujuan memperkaya diri.

Dia berpendapat, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan para kepala daerah berkewajiban mendisiplinkan perilaku aparatur sipil negara di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang pamer kekayaan di hadapan rakyat.

"Gaya hidup yang dipertontonkan oleh para ASN pajak mulai dari pusat dan daerah harus ditertibkan karena itu menunjukkan bahwa jelas oknum pegawai pajak itu menyalahgunakan, menggunakan jabatannya untuk memperkaya diri," ungkap Santoso dalam keterangan pers, Kamis (2/3) di Jakarta.

"Menteri Keuangan dan para kepala daerah memiliki kewajiban untuk menertibkan ini agar uang yang berasal dari para wajib pajak benar-benar diterima negara atau daerah dalam rangka pembangunan serta kesejahteraan rakyat," tambah Santoso.

Ia menilai tunjangan kinerja dengan nominal besar yang diberikan kepada pejabat pajak justru ditujukan agar para pegawai tersebut tidak menyalahgunakan jabatannya terhadap wajib pajak. "Tunjangan yang diperoleh para pegawai pajak (fiskus) memang lebih besar dibanding pegawai lainnya di kementerian/lembaga, bisa sampai 10 bulan gaji setiap bulannya," tuturnya.

Meski tunjangan kinerja pejabat pajak itu terbilang besar, Politisi Fraksi Partai Demokrat ini menilai tidak dapat membenarkan perilaku pamer kekayaan, sebagaimana yang santer di media sosial beberapa waktu belakangan. "Meski mendapat tunjangan sampai dengan 10 bulan gaji pun mereka tidak dapat tampil seperti saat ini dengan memiliki motor gede, mobil mewah dan lain-lain," tuturnya.

Narasi menyesatkan

Sedangkan Ketua DPP PSI Bidang Hukum dan HAM Ariyo Bimmo Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menyesalkan narasi menyesatkan yang beredar di media sosial. Narasi ini mengkaitkan ulah Mario Dandy dengan ajakan kepada publik untuk tidak membayar pajak.

“Menyesatkan, apalagi bila dibumbui ajakan untuk tidak membayar pajak. Bukan di situ letak penyalahgunaan wewenangnya,” tegas Ariyo Bimmo, Minggu (26/2)

Menurut Ariyo, uang pajak yang dibayarkan kepada negara justru aman dan telah digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan selama ini. “Sehingga, ungkapan seperti masyarakat bayar pajak jadi malas, karena rajinpun duitnya dipakai beli Rubicon adalah ungkapan keliru, bahkan menyesatkan,” jelasnya,

“Ini mislead sebenarnya. Modus orang pajak bukan dari duit yang masuk/disetorkan, justru dari duit yang gak masuk kas negara karena kongkalikong dengan wajib pajak yang harusnya bayar pajak tinggi,” imbuhnya.

Praktik pengemplangan uang pajak inilah yang menurutnya semestinya disoroti. Berbagai modus penggelapan pajak dilakukan melalui sumbangan, investasi saham, memanipulasi aset, membagikan hadiah dan warisan serta menyimpan aset di negara surga pajak (tax heavens).

“Sehingga potensi pendapatan negara yang semestinya besar, bocor sebelum masuk kas negara,” terangnya.

Dana Moneter Internasional (IMF) menaksir, negara-negara surga pajak merugikan pemerintah antara USD 500 miliar dan USD 600 miliar per tahun, sebagian besar dalam pendapatan pajak perusahaan yang tidak dapat mereka kumpulkan.

Bukan hanya merugikan negara secara langsung, praktek ini juga membuat kompetisi yang tidak adil di antara para pelaku usaha. “Secara makro, ekonomi kita sulit berkembang karena pelaku usaha tidak kompetitif. UMKM sulit maju karena kapital terus berputar di pemilik modal,” ujar Bimmo.

“Jadi, kalo sampai ada ajakan untuk gak bayar pajak segala, itu gak ada bedanya sama pengusaha dan petugas pajak yang ngemplang sumber pendapatan negara. Duit pajak rakyat jelata seperti saya dan anda sih, semestinya aman,” tuturnya.

Sedangkan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengimbau masyarakat tidak terpengaruh oleh kabar yang berkaitan dengan oknum anak pejabat Ditjen Pajak yang memamerkan gaya hidup mewah.

Mengingat, pemerintah telah menindaklanjuti oknum tersebut dengan tegas yakni dengan cara dicopot dari jabatannya. Kemudian, harta yang kerap dipamerkan tengah diperiksa oleh aparat penegak hukum. 

“Langkah itu, antisipasinya saya kira sudah betul itu, sudah dilakukan,” kata Wapres Ma’ruf Amin ketika memberikan keterangan pers di Alila Hotel Surakarta, Jawa Tengah (Jateng) pada Rabu (1/3).

Menurut Wapres, sejatinya Kemenkeu kerap kali melakukan serangkaian pembenahan dan perbaikan berkaitan dengan pembayaran pajak. Kemenkeu saat ini telah melakukan berbagai perbaikan sistem perpajakan bahkan melalui digitalisasi atau pajak online.

Kemudian, pihak Kemenkeu juga tengah melakukan serangkaian upaya dalam menertibkan aparatur yang terindikasi melakukan penyimpangan.

“Boleh dikatakan Kemenkeu paling baik dalam melakukan perbaikan-perbaikan dalam masalah sistem perpajakan, termasuk masalah-masalah digitalisasi dan semua, kemudian juga sistem pajak online, kemudian juga penertiban aparaturnya dan sebagainya,” kata Wapres.

Berbagai upaya  pembenahan dan perbaikan yang dilakukan oleh Kemenkeu ke depan, maka harus mampu meyakinkan masyarakat untuk taat membayar pajak. Membayar pajak, merupakan kewajiban dari setiap warga negara yang tertuang dalam perundangan dan aturan yang berlaku.

“Jangan sampai orang (tidak mau) membayar pajak, saya kira itu tidak tepat,” tegas Wapres. (rik/sut)

 


Baca juga: Jaga Kelestarian, Gubernur Bali Proteksi Kawasan Batur