TELAH terjadi perubahan klimatologis atau kondisi cuaca dan iklim di Indonesia selama 19 tahun, yaitu 2001--2019. Durasi musim hujan lebih panjang di beberapa wilayah selatan di Indonesia. Berdasarkan data hasil kajian tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), telah terjadi perubahan klimatologis di Indonesia dalam kurun 19 tahun, yaitu sejak 2001 hingga 2019. Durasi musim hujan lebih panjang, yakni selama 49 hari, di beberapa wilayah selatan di Indonesia, di antaranya, di wilayah 1 Sumatra Selatan dan Kalimantan dan sebagian wilayah di selatan Pulau Sulawesi. Sementara itu, di Lampung dan bagian barat Pulau Jawa durasi musim hujan berlangsung lebih panjang 12 hari. Hari-hari kering mengalami peningkatan selama musim hujan untuk wilayah selatan Indonesia, Perubahan iklim adalah perubahan pada salah satu parameter iklim, misalnya, temperatur pada periode waktu jangka panjang minimal 10--30 tahun. Salah satu indikasi dari perubahan iklim adalah terjadinya perubahan pada musim dan cuaca. BRIN melalui Pusat Riset Iklim dan Atmosfer, membangun model prediksi musim Decision Support System (DSS) Kamajaya. Data yang dihasilkan Kamajaya kemudian dikembangkan untuk mendukung riset atmosfer maupun aplikasinya. Hal itu dikemukakan, Peneliti Pusris Iklim dan Atmosfer Erma Yulihastin dalam siaran pers BRIN dalam Webinar Hari Meteorologi Dunia ke-73, pada Selasa, 28 Maret 2023. Hasil kajian tersebut saat ini dalam proses review di Jurnal Remote Sensing Application: Society and Enviroment. Dalam kesempatan itu Erma menyampaikan, pada Januari 2023 European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) menyatakan bahwa pemanasan global diperkirakan mencapai 1,21oC. Dalam 30 tahun, pemanasan global ini berlanjut hingga mencapai 1,5oC pada Maret 2023. Dia pun menjelaskan, perubahan Iklim di Indonesia memiliki dampak dan efek yang berbeda di setiap wilayah di Indonesia. Menurut Erma, selama musim hujan akan terjadi peningkatan hujan yang lebih ekstrem dan selama musim kemarau, hujan ekstrem semakin sering terjadi di Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). “Fokus pengamatan kami di selatan Indonesia, karena selatan Indonesia merupakan tempat sentra pangan di Indonesia serta memiliki penduduk terbanyak,” tegasnya. Erma menuturkan dari hasil penelitian tim di BRIN menunjukkan adanya perubahan temperatur signifikan di Pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan (pada kurun 2021--2050 terhadap 1991--2020). Temperatur minimum mengalami penurunan di sebagian besar pantura Jateng dan Jatim, serta bagian tengah Jawa Barat. Temperatur maksimum mengalami peningkatan di sebagian besar pantura Jateng dan Jatim. Hari-hari tidak hujan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan diproyeksikan meningkat, sehingga lebih kering dan mengalami peningkatan kering yang signifikan, sama halnya di Sumatra Selatan, hingga Lampung. Perubahan iklim itu menyebabkan terjadinya Badai Vorteks dan Siklon Tropis, di selatan Nusa Tenggara Timur, sehingga dampaknya meningkatkan hujan dan menimbulkan banjir di Madura dan wilayah Jawa Timur lainnya. Selain itu, adanya penghangatan suhu permukaan laut di Laut Jawa di utara Jakarta. Di sisi lain, suhu permukaan laut yang mendingin terbentuk di Laut Natuna Utara telah menciptakan tekanan tinggi. Pendinginan suhu laut itu disebut juga dengan istilah cold tongue. Untuk mengantisipasi kebencanaan yang mungkin terjadi dari badai Badai Vorteks dan Siklon Tropis, diperlukan adanya model prediksi cuaca resolusi tinggi secara temporal dan spasial, dengan wilayah dominan yang luas. Selain juga, melakukan edukasi kepada masyarakat secara komprehensif. BRIN menyarankan, perlu untuk membangun weather ready nation yang merupakan upaya memaksimalkan peringatan dini terhadap kejadian vortex. “Itu untuk memastikan jalur koordinasi dan komunikasi di daerah dengan kesigapan maksimal dan meminimalisasi dampak perubahan iklim yang terjadi,” tutur Erma. (devi/sut)
Baca juga:
Jaga Kelestarian, Gubernur Bali Proteksi Kawasan Batur