TOKOH pariwisata Bali Ida Bagus Ngurah Wijaya (72) kembali memulai petualangannya mengelilingi dunia. Kali ini ia mengawali penjelajahannya dengan mengendarai sepeda motor dari titik paling Selatan benua Afrika (Cape Town-Afrika Selatan) ke titik paling Utara benua Eropa (Nordkaap-Norwegia). Sebelumnya, Ngurah Wijaya sempat pula menjelajahi kawasan Amerika Utara, Amerika Latin dan Amerika Selatan. Dilansir dari laman Kemenlu, saat berada di Cape Town, Rabu (6/12/2023), dengan mengendarai motor Aprilia 1000 cc, Ngurah Wijaya disambut hangat oleh Konjen RI Cape Town Tudiono didampingi Konsul Penerangan, Sosial Budaya Daddy Yuliansyah dan Konsul Konsuler Faiez Maulana di KJRI Cape Town. Dalam perjalanannya kali ini, Ngurah Wijaya mengaku bahwa ia ingin melihat panji Merah Putih di motornya dihormati dan dikenal orang di sepanjang perjalanannya. Ia berharap perjalanannya dapat memikat warga lokal yang dilewati untuk mengunjungi Indonesia dan menghidupi ekonomi masyarakat sekitar. Ngurah Wijaya memilih Cape Town sebagai titik awal perjalanannya kali ini karena dinilai memiliki potensi sangan besar untuk memicu minat wisata dari warga Cape Town ke Indonesia. “Cape Town dipilih sebagai titik awal karena kemampuan ekonomi masyarakatnya yang tinggi, cukup makmur dan maju di banding kota-kota lain di Afrika. Sehingga sangat potensial untuk dapat berwisata ke Indonesia,” tuturnya. Ia lalu menceritakan kebanggaannya ketika orang-orang di negara yang dilalui memperlakukannya dengan ramah setelah mengetahui dirinya dari Indonesia. Dengan memperkenalkan Indonesia akan banyak orang tahu dan memahami Indonesia. Harapan selanjutnya banyak orang akan berkunjung dan berwisata ke Indonesia. “Ini akan turut menghidupkan ekonomi masyarakat sekitar mulai dari penjual kacang, aneka kue, buah-buahan, sampai kerajinan tangan,” tuturnya dalam bincang dengan Konjen Tudiono. Konjen Tudiono menilai pilihan Cape Town sebagai titik awal perjalanan sangatlah tepat. “Karena Afrika Selatan terutama masyarakat Cape Town dan sekitarnya memiliki kedekatan sejarah dan budaya dengan Indonesia,” ujarnya. Tudiono menjelaskan bahwa Denpasar dan Mossel Bay memiliki kerja sama Sister City. Dalam pertemuan dengan Walikota Mossel Bay November lalu, Walikota Alderman Dirk Kotze mengharapkan KJRI menyelenggarakan Indonesian Folk Market di sana, seperti yang diselenggarakan di Cape Town pada 14 Oktober yang dihadiri 4.695 pengunjung. Menyambut baik undangan tersebut, Konjen RI berencana menyelenggarakan Indonesian Folk Market di Mossel Bay pada April 2024. Tudiono mengharapkan Pemkot Denpasar dan Pemprov Bali dapat berpartisipasi dalam acara tersebut dengan mengirimkan misi budaya dan kesenian. Hal ini akan menjadi salah satu wujud nyata tindaklanjut kerjasama Sister City. Acara tersebut juga merupakan bagian dari peringatan 30 tahun hubungan diplomatik Indonesia - Afrika Selatan pada 2024. Ngurah Wijaya yang pernah menjabat sebagai Ketua Bali Tourism Board (BTB) selama tiga periode ini sangat bersemangat turut memfasilitasi dukungan Pemkot Denpasar dan Pemprov Bali dalam mendukung Indonesian Folk Market di Mossel Bay. Lebih lanjut Konjen Tudiono menceritakan bahwa selain merupakan titik paling Selatan di Afrika, pilihan Cape Town sebagai titik awal perjalanan sangatlah tepat. Karena Indonesia dan Afrika Selatan, terutama masyarakat Cape Town dan sekitarnya, memiliki kedekatan sejarah dan budaya dengan Indonesia. Di penghujung abad 17 semasa kolonial, seorang Ulama dan pejuang besar Indonesia, Syekh Yusuf Al Makassari asal Kerajaan Gowa yang menentang penjajahan Belanda di Banten bersama Sultan Ageng Tirtayasa diasingkan ke Cape Town bersama 49 orang pengikutnya. Syekh Yusuf kemudian menjadi orang pertama yang membawa ajaran Islam di Afrika Selatan, dan hingga kini makamnya masih terawat dengan baik di daerah Macassar, Cape Town. Dalam perkembangannya, figur Syekh Yusuf menginspirasi Nelson Mandela dalam perjuangannya menentang apartheid, sehingga Pemerintah Afrika Selatan menganugerahinya gelar pahlawan nasional di tahun 2005. Sebelumnya di tahun 1995, Syekh Yusuf juga dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Pemerintah Indonesia. Di samping itu, berselang hampir 100 tahun kemudian seorang Ulama Indonesia lain, Abdullah bin Qadhi Abdussalam (dikenal dengan Tuan Guru) asal Tidore juga diasingkan dan dipenjara di Robben Island (30 menit dari Cape Town dengan menggunakan boat), pulau tempat Nelson Mandela dipenjara selama 24 tahun karena menentang apartheid. Semasa dipenjara, Tuan Guru menulis ulang Al Qur’an berdasarkan ingatan, yang kemudian setelah diteliti para ahli akurasinya hampir sempurna karena hanya terdapat kesalahan yang sangat sedikit. Setelah dibebaskan Tuan Guru kemudian tinggal di Cape Town dan mengajarkan Islam kepada penduduk setempat, sehingga kemudian mendapat panggilan Tuan Guru. Tuan Guru juga mendirikan Masjid pertama di Afrika Selatan, yaitu Masjid Auwal di daerah Bo Kaap yang hingga kini masih digunakan oleh masyarakat sekitar. Makamnya juga masih terawat di pemakaman Tana Baru, masih di area Bo Kaap. Di samping kedua tokoh tersebut, terdapat sejumlah Ulama Indonesia lainnya yang berperan dalam perkembangan Islam di Afrika Selatan. Pada 2021, Pemerintah Afrika Selatan menetapkan sejumlah makam sebagai national heritage di antaranya adalah makam Ulama Indonesia yaitu makam Syekh Yusuf Al Makassari (asal Gowa), Tuan Dea Koasa dan Tuan Ismail Dea Malela (asal Sumbawa), Sheikh Mohamed Hassen Ghailbie Shah (pengikut Syekh Yusuf), Tuan Kaape-ti-low (asal Jawa), Abdurahman Matebe Shah dan Sayed Mahmud (asal Sumatera Barat). Dari keturunan orang-orang Indonesia yang datang di Afrika Selatan ratusan tahun lalu, berkembang komunitas Cape Malay yang kini jumlahnya lebih dari 300 ribu orang. (riki/sut)
Baca juga:
Melukis Laksana Menyanyi, Meletakkan Warna Laksana Menari