LAYAR gawai kini menjadi panggung baru bagi para politisi. Kehadiran mereka di berbagai platform media sosial bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan sebuah strategi komunikasi yang masif.
Namun, derasnya arus informasi dari para wakil rakyat di dunia maya ini memunculkan perdebatan tentang motivasi di baliknya, benarkah ini upaya membangun citra di era digital, ataukah sebuah langkah nyata untuk memberikan pemahaman politik kepada masyarakat?
Pandangan terpecah. Ada keyakinan bahwa media sosial membuka ruang interaksi yang belum pernah ada sebelumnya. Politisi kini dapat menjangkau konstituen secara lebih langsung, menyampaikan gagasan dan program tanpa perantara media konvensional.
Kemampuan untuk merespons isu terkini dengan cepat dan membangun dialog dianggap sebagai potensi besar untuk meningkatkan literasi politik, terutama di kalangan pemilih muda yang tumbuh besar dengan internet.
Namun, tak sedikit pula yang meragukan ketulusan di balik aktivitas daring para politisi.
Kekhawatiran muncul bahwa konten yang disajikan seringkali terkurasi, fokus pada popularitas, dan minim substansi mendalam.
Skeptisisme bertambah ketika melihat respons terhadap kritik yang cenderung defensif atau bahkan penghapusan komentar yang dianggap merugikan.
Muncul dugaan bahwa media sosial hanyalah alat lain untuk memoles citra, tanpa ada komitmen yang kuat untuk benar-benar mengedukasi.
Sebagian pengamat berpendapat bahwa batasan antara membangun citra dan memberikan edukasi di ranah digital memang kabur.
Dalam dunia politik, setiap komunikasi publik pasti mengandung unsur pencitraan. Hal ini dianggap wajar selama citra yang ditampilkan sejalan dengan nilai dan kinerja nyata sang politisi.
Media sosial bahkan memberikan kesempatan untuk menunjukkan sisi humanis, membangun kedekatan emosional dengan pemilih, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan.
Strategi yang cerdas, menurut sebagian kalangan, adalah kemampuan politisi untuk menggabungkan keduanya membangun persepsi positif sambil memberikan pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu politik.
Edukasi tidak harus selalu disampaikan dalam format yang berat dan formal. Informasi yang disajikan dalam bentuk visual menarik, ringkas, dan interaktif justru lebih efektif menjangkau audiens yang lebih luas.
Pada akhirnya, masyarakat memiliki peran krusial dalam menilai aktivitas para politisi di media sosial. Sikap kritis dalam menerima informasi menjadi kunci.
Melihat rekam jejak di dunia nyata, menganalisis substansi konten yang dibagikan, dan memperhatikan respons terhadap kritik dapat membantu membedakan antara upaya pencitraan semata dan komitmen untuk memberikan pemahaman politik yang sesungguhnya.
Di era serba digital ini, integritas politisi dan kecerdasan pemilih akan menentukan apakah media sosial menjadi jembatan edukasi atau sekadar panggung ilusi.
Oleh: I Dewa Gede Fathur Try Githa, S.Pd/ Anggota DPD KNPI Bali
Baca juga:
Bebal