DENPASAR, PODIUMNEWS.com – Boneka imut bermata bulat, Labubu, mendadak jadi primadona baru di jagat maya. Kendati sudah eksis sejak 2015, popularitas maskot perusahaan mainan Tiongkok, Pop Mart, ini meroket bak meteor usai sentuhan magis dari Lisa Blackpink. Unggahan sang idola di Instagram pribadinya menjadi katalis, terlebih Pop Mart kini semakin agresif membuka gerai di Indonesia. Fenomena Labubu tak luput dari sorotan akademisi. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR), Intan Fitranisa, melihatnya sebagai cerminan kuatnya budaya konsumen Indonesia yang dipengaruhi endorser dan influencer. “Peranan dari endorser, influencer itu penting dalam menciptakan urgensi dari sebuah hal,” ujarnya, Jumat (25/4/2025). Peran media sosial, lanjut Intan, juga menjadi akselerator utama viralnya Labubu. Konsumsi Berbasis Emosi, Bukan Sekadar Fungsi Intan menjelaskan, produsen kini tak hanya menjual kualitas, namun juga gencar memainkan emosi konsumen. Tak jarang, sisi emosional inilah yang memicu perilaku konsumtif impulsif. “Barang-barang yang lucu, cute itu memang menstimulasi cara berpikir kita tentang bagaimana melihat sebuah produk. Jadi men-trigger kita untuk membeli,” ungkapnya. Pop Mart, menurut Intan, cerdik menyasar bukan hanya anak-anak, namun juga sisi "anak-anak" dalam diri orang dewasa. Meski konsumsi berbasis emosi sah-sah saja, Intan mengingatkan pentingnya mengukur kemampuan finansial. “Intinya kamu punya budget-nya. Yang tidak sehat itu ketika kamu mau beli dan harus pinjol, harus pakai pay later. Itu yang nggak sehat,” tegasnya. Simbol Status di Era Digital Lebih jauh, Intan menyoroti pergeseran budaya konsumsi menjadi ajang unjuk gigi status sosial, yang dipercepat oleh media sosial. Konsumsi kini tak lagi sekadar fungsional, melainkan juga berfungsi sebagai penanda simbol-simbol tertentu. “Di era digital seperti sekarang, semua hal mudah untuk diviralkan, disirkulasikan secara cepat ke orang-orang. Jadi membuat hal itu seolah-olah penting. Kalau kamu nggak join the trend, ya you left out, ketinggalan zaman,” papar Intan. Menanggapi tren konsumsi Labubu dan fenomena serupa, Intan menyarankan konsumen untuk lebih mindful dan mempertimbangkan pembelian barang tersier, terutama dalam kondisi ekonomi yang penuh tantangan. “Jadi kita sebagai konsumen juga harus punya literasi dalam hal konsumsi,” pungkasnya. Fenomena Labubu ini menjadi potret betapa kuatnya pengaruh media sosial dan influencer dalam membentuk budaya konsumsi masyarakat modern. (riki/suteja)
Baca juga :
• Wisatawan Stoik Eropa Mencari Kedamaian di Bali
• Stoikisme ala Hindu Bali: Merangkul Ketenangan Lewat Mulat Sarira
• Senja di Soan Galuh, Momen Sakral dari Celah Karang