KABUPATEN Buleleng, yang terletak di utara Pulau Bali, memiliki sejarah dan budaya yang kaya. Sebagai bekas pusat kerajaan Bali, daerah ini telah melahirkan tokoh-tokoh sastra penting yang berkontribusi besar pada perkembangan sastra Bali dan Indonesia modern. Salah satu tokoh terkemuka adalah Anak Agung Pandji Tisna (1908-1978), keturunan langsung dari dinasti kerajaan Buleleng. Latar belakangnya yang aristokrat memberinya pemahaman mendalam tentang budaya Bali, yang tercermin dalam karya-karyanya. Novelnya yang terkenal, Sukreni Gadis Bali (1936), yang diterjemahkan ke berbagai bahasa, mengangkat tema-tema ketidakadilan sosial dan konflik budaya. Pandji Tisna juga menulis cerita pendek dan puisi, yang diterbitkan di majalah-majalah sastra terkemuka pada masanya. Ia dikenal sebagai "Bapak Pariwisata Bali" atas perintisannya mengembangkan Lovina sebagai tujuan wisata. Selain Pandji Tisna, Buleleng juga melahirkan sastrawan-sastrawan kontemporer yang terus menghidupkan tradisi sastra daerah ini. Komang Sujana (lahir 1990), seorang guru bahasa Bali, telah meraih Penghargaan Sastra Rancage 2025 untuk kumpulan puisinya, Renganis. Karya-karyanya dikenal karena orisinalitasnya dalam bentuk, konten, dan ekspresi, dengan tema-tema seperti pelestarian seni dan kritik sosial. Wulan Dewi Saraswati, seorang penulis, sutradara, dan guru bahasa Indonesia untuk penutur asing, menulis dalam berbagai genre dan aktif dalam teater. Kumpulan puisinya, Seribu Pagi Secangkir Cinta (2017), menjadi bahan diskusi di komunitas sastra lokal. Kadek Sonia Piscayanti (lahir 1984), seorang dosen di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), tidak hanya menulis puisi dan prosa, tetapi juga aktif dalam komunitas sastra. Ia ikut mendirikan Komunitas Mahima, yang menjadi pusat kegiatan sastra di Buleleng. Nyoman Tusthi Eddy (1945-2020), seorang guru dan kritikus sastra, menulis secara ekstensif dalam berbagai genre dan dianggap sebagai suara penting dalam sastra Bali modern. Karyanya yang berjudul Mengenal Sastra Bali Modern (1991) menjadi bacaan penting untuk memahami perkembangan sastra Bali modern. Komunitas Mahima, yang didirikan pada tahun 2008, memainkan peran penting dalam memupuk bakat sastra di Buleleng. Komunitas ini mengadakan diskusi sastra, ulasan buku, pembacaan puisi, dan lokakarya menulis, menciptakan lingkungan yang mendukung bagi para penulis untuk berbagi karya dan menerima umpan balik. Keberhasilan para penulis Buleleng meraih penghargaan sastra dan pengakuan lainnya menunjukkan bahwa wilayah ini memiliki budaya sastra yang dinamis dan terlibat. Warisan budaya dan dinamika sosial Buleleng yang unik menjadi sumber inspirasi bagi para penulisnya, yang menghasilkan karya-karya yang kaya dan beragam. Masa depan sastra Buleleng tampak cerah, dengan munculnya bakat-bakat baru yang akan membangun fondasi yang telah diletakkan oleh para pendahulu mereka. Komunitas sastra yang aktif dan dukungan yang berkelanjutan memastikan bahwa Buleleng akan terus berkontribusi pada kekayaan sastra Bali dan Indonesia. (isu/suteja)
Baca juga :
• PKK Badung Dukung Seni Anak di Ajang PKB
• 393 Warga Ikuti Maligia Punggel dan Mepandes di Pedungan
• Putri Koster: Seni Itu Harus Berani dan Penuh Ekspresi