Podiumnews.com / Kolom / Editorial

Balada Sampah di Suwung: Luka yang Diabaikan

Oleh Podiumnews • 27 Mei 2025 • 16:33:00 WITA

Balada Sampah di Suwung: Luka yang Diabaikan
Editorial. (PODIUMNEWS)

NAMA Suwung telah lama lekat dalam ingatan warga Bali, bukan sebagai tempat tinggal yang nyaman, melainkan sebagai perwujudan kegagalan tata kelola lingkungan.

Selama lebih dari empat puluh tahun, kawasan ini menjadi titik akhir dari limbah yang dihasilkan oleh berbagai pusat aktivitas ekonomi dan pariwisata. Bukannya menyusut, tumpukan sampah justru menggunung bersama diamnya kebijakan yang terlalu lama bertumpu pada sistem buang lalu angkut.

Suwung tidak lahir dari satu kesalahan, tapi dari pembiaran sistemik. Sampah dipandang selesai begitu meninggalkan rumah, restoran, hotel, atau pasar. Padahal, perjalanannya belum berakhir ia hanya berpindah membebani tanah, air, dan udara milik orang lain. Dan ketika limbah itu menumpuk, yang terancam bukan hanya ekosistem, tapi juga martabat manusia yang tinggal di sekitarnya.

Bali sejatinya tidak kekurangan kebijakan. Sejak tahun 2019, Peraturan Gubernur Nomor 47 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber telah diterbitkan.

Regulasi ini menggeser pendekatan konvensional ke arah yang lebih progresif sampah harus dikelola sejak dari hulu rumah tangga, sekolah, pasar, hingga kawasan usaha. Ada penekanan pada pemilahan, pengurangan, dan pengolahan mandiri sebelum sampai ke TPS atau TPST.

Namun regulasi, betapapun lengkapnya, tidak berarti jika pelaksanaannya di masyarakat longgar tentu akan susah.

Hingga hari ini, masih banyak wilayah yang belum menjalankan sistem ini secara konsisten. Infrastruktur pemilahan belum merata, edukasi masyarakat belum maksimal, dan sanksi terhadap pelanggaran masih sebatas formalitas.

Suwung adalah pengingat bahwa menunda keputusan bukanlah pilihan. Jika pendekatan berbasis sumber tidak dijalankan dengan disiplin dan didukung semua pihak pemerintah, pelaku usaha, dan warga maka tempat-tempat seperti Suwung akan terus lahir.

Sampah bukan sekadar urusan teknis, melainkan cermin kegagalan etika kolektif dan tata kelola ruang hidup.

Langkah-langkah kecil seperti pengolahan sampah organik di rumah, distribusi ulang limbah anorganik ke bank sampah, atau penerapan sistem tiga tong tidak akan berarti jika tak menjadi budaya.

Maka, pembiasaan harus dimulai dari pendidikan, regulasi harus diikuti dengan pengawasan, dan setiap kebijakan harus diterjemahkan menjadi praktik sehari-hari.

Suwung bukan sekadar tempat pembuangan. Ia adalah peringatan diam yang terus menumpuk. Dan selama kita masih memandang sampah sebagai beban orang lain, bukan tanggung jawab bersama, maka luka itu akan tetap terbuka di Suwung, dan di banyak tempat lain. (*)