Pinjaman Besar dan Ujian Integritas Badung
KEPUTUSAN Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung untuk meneken perjanjian pinjaman daerah senilai Rp2,8 triliun dengan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) adalah langkah berani yang patut dicatat sebagai tonggak baru dalam strategi pembangunan infrastruktur Bali. Pinjaman kolosal ini bukan hanya tentang memperbaiki jalan yang rusak, melainkan menciptakan trase-trase baru di wilayah Kuta Selatan dan Kuta Utara, dua kawasan vital yang selama ini menjadi denyut pariwisata sekaligus titik terparah kemacetan.
Bupati I Wayan Adi Arnawa memahami benar urgensi persoalan ini. Kemacetan yang dibiarkan berarti kerugian ekonomi yang berlipat. Ia tidak hanya menyoal kenyamanan wisatawan, tetapi juga risiko lonjakan harga tanah yang bisa melumpuhkan investasi baru. Karena itu, keputusan untuk menempuh skema pinjaman dengan bunga 5,7 persen dinilai sebagai langkah kalkulatif yang realistis. Dengan target pembebasan lahan pada 2025 dan konstruksi fisik di awal 2026, Badung tampak berupaya memangkas jeda birokrasi dan mempercepat hasil nyata.
Namun di balik semangat percepatan ini tersimpan risiko besar yang tidak boleh diabaikan. Pinjaman Rp2,8 triliun bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi tanggung jawab jangka panjang yang akan membebani fiskal daerah selama bertahun-tahun. Dengan basis pendapatan yang bergantung pada sektor pariwisata, Badung berada di jalur yang rentan terhadap fluktuasi global. Bila pariwisata terguncang oleh krisis atau bencana, kemampuan daerah membayar cicilan dan bunga akan menghadapi tekanan berat. Kewajiban pembayaran yang dimulai enam bulan setelah perjanjian menuntut manajemen keuangan yang sangat disiplin dan terencana.
Keberhasilan kebijakan ini kini bergantung pada tiga hal mendasar. Pertama, transparansi dan akuntabilitas proyek. Setiap rupiah dari pinjaman publik harus terpantau dengan jelas. Pengawasan DPRD, media, dan masyarakat harus menjadi bagian integral dari pelaksanaan proyek, agar tidak ada ruang bagi kebocoran atau inefisiensi. Kedua, kajian dampak dan keberlanjutan. Pembangunan jalan harus memperhatikan keseimbangan ekologis dan tata ruang, bukan sekadar menambah beton tanpa arah. Infrastruktur yang baik bukan yang hanya mempercepat laju kendaraan, tetapi yang memperkuat harmoni antara manusia dan ruang hidupnya. Ketiga, diversifikasi ekonomi dan penguatan PAD. Badung tidak boleh bergantung selamanya pada pariwisata. Pendapatan daerah harus diperluas, termasuk optimalisasi BUMD dan investasi produktif yang mampu menopang kewajiban fiskal di masa depan.
Langkah Bupati Adi Arnawa mencerminkan filosofi investasi yang berani: menukar beban hari ini untuk hasil yang lebih besar di kemudian hari. Namun keberanian fiskal harus diimbangi dengan kebijakan yang cermat, transparan, dan berintegritas. Sebab, sejarah banyak mengajarkan bahwa utang yang dikelola tanpa disiplin bisa berubah menjadi beban bagi generasi berikutnya.
Langkah Badung patut diapresiasi sebagai bentuk proaktif pemerintahan daerah dalam mencari solusi nyata terhadap kemacetan dan stagnasi infrastruktur. Tetapi penghargaan sejati hanya akan datang bila proyek ini selesai tepat waktu, memberi manfaat luas, dan tidak meninggalkan jejak utang yang menjerat.
Keberanian fiskal tidak berhenti di tanda tangan perjanjian, tetapi diuji di setiap tahap pelaksanaannya. (*)