Podiumnews.com / Kolom / Editorial

Badung, Utang, dan Visi Jangka Panjang

Oleh Nyoman Sukadana • 29 Oktober 2025 • 23:01:00 WITA

Badung, Utang, dan Visi Jangka Panjang
Editorial. (podiumnews)

LANGKAH Pemerintah Kabupaten Badung mengalokasikan pembiayaan sebesar Rp1,3 triliun untuk pembangunan infrastruktur dan pembebasan lahan di kawasan Kuta Utara serta Kuta Selatan bukan sekadar kebijakan teknokratis. Ini adalah pernyataan arah pembangunan yang menegaskan keyakinan bahwa kemajuan ekonomi hanya dapat dicapai melalui konektivitas dan pemerataan.

Bupati I Wayan Adi Arnawa menempatkan kebijakan ini dalam kerangka fiskal yang besar dan ambisius. Dengan total rancangan APBD 2026 mencapai Rp13,2 triliun dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp11,5 triliun, Badung memperlihatkan posisi fiskal yang jarang dimiliki daerah lain di Indonesia. Kemandirian fiskal sebesar ini memberi ruang bagi pemerintah untuk menggunakan utang sebagai instrumen produktif, bukan sebagai beban. Prinsip bahwa setiap utang daerah harus produktif dan berdampak langsung pada masyarakat menjadi pijakan yang patut diapresiasi.

Namun, kekuatan fiskal tidak boleh melahirkan euforia kebijakan. Pembiayaan utang sebesar Rp1,3 triliun tetap memerlukan kehati-hatian tinggi, baik dalam perencanaan maupun eksekusi. Infrastruktur di Kuta Utara dan Kuta Selatan memang vital karena dua wilayah tersebut merupakan simpul pertumbuhan ekonomi dan pariwisata Badung. Tetapi keberhasilan pembangunan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan dana, melainkan juga oleh manajemen proyek yang disiplin, transparan, dan bebas dari intervensi non profesional.

Editorial ini memandang bahwa keberanian mengambil utang hanyalah setengah dari persoalan. Separuh lainnya adalah kemampuan memastikan bahwa setiap rupiah yang dipinjam benar-benar menjadi investasi jangka panjang yang mendatangkan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat. Jalan baru, jembatan, dan lahan yang dibebaskan harus menghasilkan nilai tambah berupa kelancaran arus wisatawan, efisiensi distribusi ekonomi, dan peluang kerja bagi warga. Utang produktif hanya dapat disebut produktif apabila hasilnya dirasakan secara nyata di tingkat akar rumput.

Keterpaduan antara pembangunan infrastruktur dan kebijakan pro investasi juga menjadi catatan penting. Pengajuan Raperda tentang Pemberian Insentif dan/atau Kemudahan Penanaman Modal adalah langkah strategis yang sejalan dengan arah tersebut. Infrastruktur fisik yang baik akan sia-sia tanpa dukungan kebijakan ekonomi yang mampu mengundang aliran modal baru ke wilayah yang dibangun. Kombinasi antara fisik dan regulasi inilah yang akan menentukan apakah Badung mampu mengonversi keunggulan fiskalnya menjadi kesejahteraan masyarakat yang merata.

Fungsi pengawasan DPRD kini menjadi krusial. Momentum pembahasan APBD 2026 harus dijalankan bukan sekadar sebagai formalitas, tetapi sebagai ruang kritik dan koreksi terhadap setiap detail pembiayaan publik. Transparansi, efisiensi, dan keberlanjutan harus dijadikan ukuran utama. Mekanisme pengembalian utang, prioritas proyek, dan dampaknya terhadap keseimbangan fiskal daerah harus dijelaskan secara terbuka kepada publik.

Badung tengah menulis bab baru dalam sejarah fiskalnya. Dengan PAD yang kuat dan komitmen pada prinsip utang produktif, daerah ini memiliki peluang besar menjadi model pengelolaan keuangan daerah yang modern dan visioner. Tetapi visi besar hanya akan berarti bila dieksekusi dengan kebijaksanaan, integritas, dan orientasi pada pemerataan.

Utang, pada akhirnya, bukan soal berani meminjam, melainkan tentang kemampuan membayar kembali dengan hasil yang lebih besar dari sekadar angka. Dalam konteks itu, keberanian fiskal Badung harus berjalan seiring dengan kebijaksanaan moral dan tanggung jawab sosial. Hanya dengan cara itu visi jangka panjang dapat berubah menjadi kenyataan yang dirasakan oleh seluruh warga Badung, dari Kuta hingga Petang. (*)