DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Pemerintah resmi menghapus pembatasan kuota impor sapi hidup. Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyatakan kebijakan ini bertujuan mendorong ketersediaan stok, memperkuat ketahanan pangan, sekaligus menciptakan nilai tambah ekonomi dari sektor peternakan. “Ya sekarang kan kita buka lebar. Impor sapi hidup, baik untuk potong, penggemukan, maupun untuk susu. Sekarang kan bebas, kita bebaskan,” kata Zulkifli Hasan dalam pernyataan resminya, dikutip Selasa (24/6/2025). Menurut Zulhas, kebijakan impor sapi ini tidak menggunakan anggaran negara, melainkan diserahkan kepada pelaku usaha. “Boleh berinvestasi membawa sapi hidup ke Indonesia... kami cuma memberi persetujuan,” ujarnya. Namun, kebijakan ini mendapat sorotan dari kalangan akademisi dan analis pangan. Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, Prof Drs Ec Tri Haryanto MP PhD, menyebut langkah tersebut bisa berdampak buruk bagi peternak lokal. “Tanpa kuota, usaha peternakan dan pembibitan lokal kehilangan insentif,” ungkapnya. Ia menilai kuota impor selama ini berfungsi sebagai alat kontrol harga dan memberikan kepastian bagi produsen dalam negeri untuk berinvestasi dalam perluasan produksi. Menurut Prof Tri, pasokan daging sapi domestik sangat bergantung pada beberapa faktor seperti populasi ternak, stok yang tersedia, serta kecepatan distribusi impor. “Jika pasar mengalami kekurangan, harga akan naik. Solusi cepatnya adalah impor. Tapi jika impor tidak dibatasi, itu sama halnya membiarkan peternak lokal mati pelan-pelan,” paparnya. Pandangan senada disampaikan oleh analis agribisnis, Emanuella Bungasmara. Ia mengingatkan bahwa pasar domestik berpotensi dibanjiri sapi dari negara produsen besar seperti Australia yang memiliki efisiensi produksi jauh lebih tinggi. “Jika volume impor tak dibatasi, peternak lokal akan semakin tersisih oleh harga sapi impor yang lebih murah,” ujarnya dalam sebuah diskusi ekonomi pangan. Pusat kajian ekonomi CORE Indonesia dalam laporannya juga menilai penghapusan kuota dapat memicu ketergantungan pada impor dan membuat produsen dalam negeri kehilangan posisi tawar. “Kuota seharusnya dilihat sebagai mekanisme kontrol dan stabilisasi pasar,” tulis CORE dalam laporan resminya. Prof Tri menambahkan, jika pemerintah tetap ingin membuka keran impor, maka harus diimbangi dengan kebijakan pendukung yang kuat untuk mendorong produksi lokal. “Pembatasan impor perlu, tapi juga harus disertai insentif seperti akses input, teknologi, dan pendampingan usaha peternakan,” tutupnya. (riki/suteja)
Baca juga :
• ITOP Forum 2025 Dibuka di Bali, Soroti Pariwisata Berkelanjutan
• Wamenpar Bantah Bali Alami Overtourism, Ini Alasannya
• Era Baru ASN: SK dan NIP Kini Serba Digital