DENPASAR, PODIUMNEWS.com – Rencana Kementerian Kesehatan untuk memberikan insentif sebesar Rp30 juta per bulan bagi dokter spesialis yang bertugas di daerah terpencil mendapat sambutan positif. Namun, sejumlah pakar menilai kebijakan tersebut belum cukup menyelesaikan persoalan pemerataan layanan kesehatan tanpa dukungan infrastruktur dan sumber daya yang memadai. Menurut Dr Djazuly Chalidyanto SKM MARS, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair), pemberian insentif memang menjadi daya tarik bagi tenaga medis. Namun, dokter spesialis sangat bergantung pada keberadaan perawat, fasilitas medis, dan teknologi penunjang lainnya dalam menjalankan tugasnya. “Pemberian insentif itu baik, tapi bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah kekurangan dokter,” ujar Djazuly melalui keterangan pers, Kamis (26/6/2025). Ia menyebut banyak aspek lain yang juga menjadi pertimbangan seorang dokter ketika ditugaskan ke wilayah pedalaman. Selain faktor finansial, dokter juga mempertimbangkan aspek psikologis, kultur lokal, akses terhadap pendidikan bagi keluarga, hingga perkembangan teknologi kesehatan di lokasi penugasan. Djazuly menilai kebijakan ini lebih bersifat sebagai solusi jangka pendek yang berisiko tidak berkelanjutan. Pemerintah dinilai perlu menyusun sistem yang lebih menyeluruh agar tidak hanya memenuhi kuantitas tenaga kesehatan, tetapi juga memastikan kualitas layanan berjalan optimal. “Ini kebijakan instan karena ingin mempercepat distribusi pelayanan. Tapi tanpa dukungan sistemik, ini hanya bertahan sesaat,” jelasnya. Ia juga mendorong agar pemerintah menetapkan indikator keberhasilan yang jelas. Bukan hanya menghitung jumlah dokter yang tersebar, tetapi juga mengukur dampaknya terhadap kesehatan masyarakat setempat, baik dari sisi angka kesembuhan maupun kepuasan layanan. “Pemerintah sering berhenti pada angka. Sudah ada dokter spesialis. Tapi apakah masyarakat senang? Apakah dokternya juga nyaman? Ini yang perlu dievaluasi,” tambahnya. Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa insentif tersebut merupakan bagian dari upaya mempercepat pemerataan pelayanan spesialistik ke wilayah terpencil dan perbatasan. Namun hingga kini, kebijakan ini masih dalam tahap perumusan teknis dan belum dijadwalkan kapan mulai diterapkan. (riki/suteja)
Baca juga :
• Ahli Gizi: Snack Tidak Bisa Gantikan MBG
• Kanker Ginjal Dapat Muncul Sejak Muda, Waspada!
• Lonjakan Sifilis Dipicu Minimnya Edukasi Reproduksi Remaja