PADA awalnya, semua tampak baik-baik saja. Sebuah keluarga kecil di Denpasar mengajukan pinjaman untuk memperluas usaha makanan rumahan yang dirintis sang istri. Cicilan berjalan lancar, penghasilan cukup, dan keyakinan bahwa roda usaha akan terus berputar membuat mereka merasa aman. Namun, kenyataan tidak selalu seindah rencana. Orderan menurun, pengeluaran bertambah, dan pinjaman yang awalnya terasa ringan perlahan berubah menjadi beban besar yang menyiksa, tak hanya secara ekonomi tapi juga mental. Psikiater dari Bali Mental Health Clinic, dr. I Gusti Rai Putra Wiguna, Sp.KJ, mengungkapkan bahwa persoalan utang kini menjadi salah satu pemicu utama gangguan mental-emosional yang ia temui di ruang praktiknya. "Belakangan ini saya cukup sering menerima klien yang mengalami stres, kecemasan, bahkan depresi, terkait persoalan utang. Mereka datang bukan hanya membawa cerita finansial, tapi juga luka psikologis yang mendalam," katanya, pada Sabtu (26/7/2025). Yang mengejutkan, menurut dr. Rai, sebagian besar dari mereka baru menyadari satu hal penting setelah utang mereka membengkak: bahwa relaksasi cicilan, kemudahan kredit, atau keringanan dari penyedia pinjaman bukanlah solusi permanen, hanya penundaan dengan bunga yang terus berjalan. Dalam situasi sulit, utang seringkali menjadi pilihan untuk bertahan hidup atau mencari peluang. Tak sedikit yang mengambil pinjaman untuk mencoba usaha baru, mengikuti pelatihan keterampilan, atau bahkan masuk ke dunia trading, sebuah dunia yang menjanjikan kebebasan finansial namun penuh risiko. Masalah muncul ketika utang diambil bukan dengan perhitungan matang, tapi karena dorongan sesaat. “Banyak orang tergoda untuk berutang karena kemudahannya, bahkan tanpa jaminan. Mereka tidak punya rencana jelas mau digunakan untuk apa, apalagi bagaimana cara mengembalikannya,” ujar dr. Rai. Ia menambahkan, ada juga klien yang menyebut bahwa utangnya digunakan untuk ‘investasi’. Tapi setelah ditelisik, investasi itu lebih menyerupai judi. “Banyak yang masuk ke dunia trading tanpa pemahaman cukup, hanya berdasarkan emosi dan cerita sukses orang lain. Ketika rugi, bukan hanya uang yang hilang, tapi juga kesehatan mental mereka,” jelasnya. Ketika Utang Menjadi Candu Lebih mengkhawatirkan lagi, ada bentuk utang yang disebut sebagai berutang patologis, suatu gangguan mental yang mirip dengan kecanduan judi. Seseorang bisa terus-menerus berutang hanya karena merasa bisa, bukan karena butuh. Dorongan untuk meminjam lebih kuat daripada akal sehat yang menyuruh berhenti. “Ini bukan sekadar masalah moral atau disiplin keuangan. Ini adalah masalah otak. Pada kasus ini, ada ketidakseimbangan zat kimia di otak yang membuat seseorang menjadi impulsif. Ia akan mencari rasa nyaman instan melalui pinjaman, sama seperti pencandu alkohol atau narkoba mencari pelarian,” kata dr. Rai. Efeknya tidak hanya pada diri sendiri, tapi juga menghantam keluarga. Banyak kasus di mana pasangan atau orangtua baru tahu bahwa anggota keluarganya terlilit utang setelah jumlahnya menggunung. Ada yang sembunyi-sembunyi meminjam ke sana kemari, termasuk ke pinjaman online atau kini bernama pinjaman daring. Pinjaman daring memang menawarkan proses cepat dan mudah. Tapi di balik kemudahannya, ada sisi gelap yang tak banyak diketahui. Dr. Rai menceritakan bahwa beberapa kliennya yang terjerat utang digital bahkan mengalami kekerasan berbasis gender. “Ada yang diancam, ditelepon terus-menerus, bukan hanya dia tapi juga keluarga dan teman-temannya. Bahkan ada yang diperas, diminta mengirim foto tidak senonoh, atau ditawari hubungan seksual sebagai bentuk pelunasan,” ungkapnya prihatin. Kondisi ini menciptakan trauma berlapis. Dari rasa malu, takut, sampai gangguan kejiwaan berat seperti gangguan kecemasan menyeluruh dan depresi berat. Beberapa bahkan mengalami gejala psikotik akibat tekanan luar biasa yang mereka hadapi. Menurut dr. Rai, dalam banyak kasus, keluarga berusaha menyelamatkan anggota mereka dengan cara menalangi atau melunasi utang-utang tersebut. Sayangnya, tanpa penanganan psikologis dan psikiatris, kebiasaan buruk ini bisa terulang kembali. “Sebelum membantu melunasi, pastikan dulu seluruh utang sudah terbuka. Banyak pasien yang belum mengaku semua. Ini bukan soal uang semata, tapi soal gangguan perilaku. Kalau tidak ditangani, mereka akan gali lubang lagi,” ujarnya. Ia menyarankan agar orang yang memiliki kecenderungan berutang impulsif segera berkonsultasi ke psikiater. Pengobatan dengan terapi perilaku dan penyesuaian kimia otak dapat membantu mereka kembali mengendalikan diri. "Jangan menunggu utangnya menumpuk baru cari bantuan. Lebih baik sadar lebih awal dan mencari pertolongan profesional,” tegas dr. Rai. Kini, ketika iklan pinjaman online dan tawaran kredit begitu mudah diakses hanya dengan sekali klik, mungkin sudah waktunya kita bertanya pada diri sendiri: apakah utang yang kita miliki saat ini masih dalam batas wajar? Atau, jangan-jangan kita sudah terjebak dalam pusaran utang patologis tanpa sadar? (angga/sukadana)
Baca juga :
• Ketika Janji Bupati Tiba di Sisi Ranjang
• Minyak Cukil, Usada Bali dari Kedalaman Laut
• Hasilkan Inovasi dari Pengalaman Pahit