TANAH becek masih lengket di kaki setiap orang yang melangkah di Banjar Tohpati, Desa Kesiman Kertalangu, Denpasar Timur. Genangan sisa hujan dua hari sebelumnya belum sepenuhnya surut, menyisakan bau lumpur dan suara tetesan air di selokan yang meluap. Kamis (11/9/2025) sore itu, bukan sorak-sorai penonton stadion yang terdengar, melainkan suara warga yang berusaha menata hidup kembali di posko darurat. Dari arah jalan desa, langkah-langkah kaki mendekat. Bukan pemain bersiap tanding, melainkan pelatih kepala Bali United FC, Johnny Jansen, bersama asisten pelatih I Gde Mahatma Dharma dan perwakilan manajemen klub. Mereka datang bukan dengan strategi formasi, tetapi membawa kotak-kotak makanan, air mineral, dan pakaian. Stadion seolah bergeser ke pengungsian, menjelma ruang solidaritas yang hangat di tengah bencana banjir. Senyum yang Tumbuh di Genangan Johnny Jansen berjalan pelan di antara halaman rumah yang baru saja dibersihkan warga. Ada motor tergeletak, tikar basah dijemur seadanya, hingga anak-anak yang berlarian tanpa alas kaki. Dari wajah lelah warga, tersungging senyum tipis saat rombongan Bali United tiba. “Saya merasakan apa yang mereka rasakan. Mereka tersenyum saat saya datang. Ada yang bilang: sudah selesai, kami kuat, menuju lebih baik,” ucap Coach Johnny. Kalimat sederhana itu mencerminkan bagaimana olahraga bisa hadir melampaui lapangan hijau, menembus batas genangan air dan lumpur. Tercatat 124 jiwa terdampak banjir di Desa Kesiman, termasuk lima lansia dan enam balita. Bahkan seorang nenek harus dirujuk ke rumah sakit karena kondisinya memburuk. Bantuan 200 boks makanan, air mineral, dan ratusan pakaian dari Bali United Store dibagikan langsung oleh manajemen klub, disaksikan Perbekel I Made Suena. “Kami banyak dibantu dari pemerintah, kepolisian, swasta, termasuk Bali United. Harapannya masyarakat bisa pulang dengan sehat dan beraktivitas kembali,” ujarnya. Bagi warga, uluran tangan itu tidak sekadar logistik, tetapi juga pesan bahwa mereka tidak sendiri dalam menghadapi bencana. Namun banjir ini bukan hanya milik warga. Tiga pemain Bali United ikut merasakan dampaknya: mobil dan motor mereka rusak. Seorang staf pelatih pun rumahnya terendam. “Kami harus peduli karena kita adalah keluarga di Bali United,” terang Johnny. Kata keluarga menjembatani luka bersama: klub dan masyarakat sama-sama korban, sama-sama berjuang bangkit. Solidaritas itulah yang menjadi wajah sejati Serdadu Tridatu di tengah bencana. Dari Tribun ke Tenda Pengungsian Bali United selama ini dikenal punya basis suporter yang masif. Lebih dari sepuluh ribu orang kerap memenuhi stadion saat Serdadu Tridatu berlaga. Kini, basis itu terasa lebih nyata: klub kembali kepada rakyat yang selalu mendukungnya. “Saya pikir ini sangat bagus. Banyak orang datang dukung kami, dan kami punya tanggung jawab terhadap masyarakat Bali,” ujar Johnny. Kata-kata itu menegaskan loyalitas bukan sekadar tiket pertandingan, tetapi jalinan saling menjaga antara klub dan pendukungnya. Di posko Banjar Tohpati sore itu, anak-anak menyalami para pemain seakan bertemu idola mereka langsung di lapangan. Bedanya, kali ini bukan gol yang ditunggu, melainkan uluran tangan. Bali United, bersama sponsor, berjanji melanjutkan distribusi bantuan ke titik banjir lain di tujuh kabupaten/kota Bali yang menurut BNPB mencapai lebih dari 120 lokasi. Stadion memang tidak berubah wujud menjadi tenda, tetapi semangatnya bergeser: dari tribun sorak ke lantai becek, dari papan skor ke kotak kardus bantuan, dari kemenangan di lapangan ke kemenangan solidaritas. “Saling peduli itu penting. Dengan begitu situasinya lebih baik untuk semua orang di sini,” tutup Johnny. Pada akhirnya, kisah ini bukan sekadar tentang banjir dan bantuan logistik. Ia adalah cerita tentang bagaimana solidaritas bisa lebih deras dari hujan, bagaimana stadion bisa berpindah ke pengungsian, dan bagaimana sepak bola menjadi wajah kemanusiaan Bali. (adi/sukadana)
Baca juga :
• Dua Jam Dulu, Sehari Kini
• Perempuan, Sepak Bola, dan Sebuah Visi Timur
• Teco, Sebuah Perpisahan di Dipta