DENPASAR, PODIUMNEWS.com - Media sosial dalam beberapa tahun terakhir dipenuhi dengan berbagai kabar buruk yang datang silih berganti. Mulai dari isu politik, bencana alam, konflik sosial, hingga tindak kriminal. Situasi ini mendorong sebagian orang untuk terus mencari, membaca, bahkan menonton kabar buruk tanpa henti. Fenomena tersebut dikenal dengan istilah doomscrolling, yaitu kebiasaan mengonsumsi informasi negatif secara kompulsif. Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), Atika Dian Ariana MSc MPsi Psikolog, menuturkan bahwa doomscrolling adalah bentuk perilaku kompulsif yang muncul sebagai manifestasi dari kecemasan dalam menghadapi ketidakpastian. Menurutnya, manusia secara naluriah terdorong untuk memahami situasi agar merasa lebih siap menghadapi ancaman. “Doomscrolling ini semacam dorongan untuk menyelamatkan diri. Dengan mencari informasi, manusia merasa bisa mengendalikan hal-hal yang negatif atau mengancam,” ujar Atika melalui keterangannya, Jumat (19/9/2025). Atika menjelaskan, perilaku ini memang tampak seperti insting bertahan hidup. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak benar-benar memberikan solusi. Terpapar kabar buruk secara terus-menerus membuat pikiran dan emosi ikut terbawa sehingga individu lebih rentan mengalami stres. “Scrolling itu kan bukan aktivitas yang betul-betul memberikan solusi. Kecuali kalau kita tahu kapan harus berhenti. Misalnya menghadapi ujian, kita tahu kapan ujian berakhir sehingga lebih mudah dikendalikan. Tapi dalam situasi tidak menentu, seperti pandemi atau kerusuhan, kita tidak paham sebenarnya kapan ini berakhir,” jelasnya. Dampak negatif dari doomscrolling tidak hanya berhenti pada stres psikologis. Menurut Atika, kebiasaan ini juga dapat memunculkan rasa khawatir berlebih yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Jika berlangsung dalam jangka panjang, doomscrolling berisiko menimbulkan kelelahan baik secara fisik maupun mental. “Ketika cemas atau stres, tubuh ikut menegang seolah bersiap menghadapi ancaman. Lama-lama bukan hanya pikiran yang lelah, tapi juga tubuh kita,” tambahnya. Fenomena ini semakin mudah terjadi karena perangkat digital membuat informasi negatif tersedia tanpa batas. Akses internet yang praktis membuat orang bisa menghabiskan waktu berjam-jam menggulir layar ponsel. Pola itu berlangsung tanpa disadari, sehingga banyak individu yang terjebak dalam siklus membaca kabar buruk, merasa cemas, lalu kembali mencari kabar lain dengan harapan mendapat kepastian. Atika menegaskan, untuk meminimalisir dampak buruk doomscrolling, masyarakat perlu meningkatkan literasi media. Individu harus lebih kritis dalam memilah informasi dan hanya mengakses sumber yang kredibel. Informasi yang valid dapat membantu memahami situasi dengan lebih proporsional, sekaligus mengurangi rasa cemas yang tidak perlu. Selain itu, penting bagi individu untuk melatih diri membatasi paparan informasi. Salah satu caranya adalah dengan mengalihkan perhatian ke aktivitas yang lebih produktif. Aktivitas sederhana seperti berolahraga, memasak, membersihkan rumah, menekuni hobi, atau kegiatan spiritual bisa membantu mengendalikan emosi. “Ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, tapi ada juga yang harus kita kembalikan kepada Tuhan. Kalau kita bisa menyeimbangkan berbagai aspek itu, kita bisa berfungsi secara penuh sebagai manusia sekaligus mengelola emosi dengan lebih baik,” terangnya. Atika menambahkan, ketika berbagai upaya sederhana belum cukup membantu, individu sebaiknya mencari dukungan dari orang terdekat. Jika masih kesulitan, langkah selanjutnya adalah tidak ragu untuk mencari bantuan profesional. “Dibandingkan doomscrolling, lebih baik kita alihkan ke aktivitas produktif. Dan kalau sudah merasa tidak tertolong dengan cara-cara sederhana, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional,” pungkasnya. (riki/sukadana)
Baca juga :
• Samsung Luncurkan Monitor Gaming OLED di Bawah Rp8 Juta
• Badung Panen Perdana Ubi Ungu dan Temu Rasa dengan Lansia
• Samsung Rilis Galaxy Z Fold7 dengan Gemini AI