Search

Home / Aktual / Kesehatan

Hasil Skrining: 1 Persen Penduduk Alami Depresi

Nyoman Sukadana   |    25 September 2025    |   12:26:00 WITA

Hasil Skrining: 1 Persen Penduduk Alami Depresi
Ilustrasi seorang remaja duduk termenung di taman, menunduk sambil memegang kepala, menggambarkan beban depresi dan kecemasan tersembunyi. (podiumnews)

YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Program Cek Kesehatan Gratis yang digelar pemerintah hingga 15 Agustus 2025 mencatat hasil awal yang menarik perhatian. Dari sekitar 13 juta penduduk yang mengikuti skrining kesehatan jiwa, ditemukan 1 persen mengalami gejala depresi dan 0,9 persen mengalami gejala cemas. Angka ini relatif lebih rendah dibandingkan survei nasional maupun estimasi global yang umumnya mencatat prevalensi depresi berada pada kisaran 3–5 persen.

Meski demikian, pakar menilai data tersebut bukan berarti kondisi masyarakat lebih aman. Manajer Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Nurul Kusuma Hidayati MPsi Psikolog, menegaskan faktor yang mempengaruhi munculnya depresi dan kecemasan bersifat kompleks. “Tidak hanya cukup dengan faktor tunggal. Bisa mencakup tekanan psikologis dan sosial-ekonomi, penyakit kronis, pekerjaan, serta keterbatasan akses layanan kesehatan psikologis,” jelasnya melalui keterangan pers, Rabu (24/9/2205).

Selain itu, masih kuatnya stigma serta rendahnya literasi kesehatan mental membuat banyak kasus tidak terdeteksi dengan baik. “Banyak orang enggan mencari bantuan atau mengakui kondisi mereka. Keterampilan coping (mengatasi tekanan) yang kurang berkembang maksimal juga turut memberi kontribusi,” tambah Nurul.

Menurutnya, depresi dan kecemasan tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada produktivitas masyarakat. Mereka yang mengalami kondisi ini rentan absen dari pekerjaan atau hadir tanpa produktivitas optimal. “Secara global, depresi dan kecemasan diperkirakan menimbulkan kerugian ekonomi lebih dari US$1 triliun per tahun serta menurunkan kualitas hidup dan relasi sosial masyarakat,” paparnya.

Jika tidak segera ditangani, gejala depresi dan kecemasan dapat berkembang menjadi gangguan kronis yang lebih serius. Risiko maladaptif seperti penyalahgunaan zat, menurunnya kesehatan fisik, hingga tindakan bunuh diri menjadi ancaman nyata. “Beban psikologis, ekonomi, dan sosial juga makin memperberat individu, keluarga, maupun masyarakat,” imbuhnya.

Untuk mencegah dampak lebih luas, Nurul menyarankan agar literasi kesehatan mental ditingkatkan secara masif. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi stigma sekaligus mendorong deteksi dini baik di rumah tangga maupun layanan kesehatan primer. Selain itu, intervensi berbasis bukti perlu diperluas agar bisa dijalankan oleh tenaga non-spesialis di berbagai lapangan.

“Gerakan promosi preventif harus berkelanjutan, dengan alur rujukan yang jelas mulai dari sekolah, kampus, hingga tempat kerja. Deteksi dini dan literasi mental harus menjadi prioritas agar masyarakat lebih tanggap mengenali gejala sejak awal,” pungkasnya.

(riki/sukadana)

Baca juga :
  • Pasien JKN Kerap Dipulangkan Dini, RS Disorot
  • Industri Dinilai Tutupi Gula Tinggi, Pakar Minta Cukai MBDK
  • 35 Persen Peserta Skrining BPJS Terindikasi Gangguan Mental