Search

Home / Aktual / Edukasi

Hak Orangtua dan Sekolah Menolak Program MBG

Nyoman Sukadana   |    27 September 2025    |   05:04:00 WITA

Hak Orangtua dan Sekolah Menolak Program MBG
Ilustrasi anak sekolah bersiluet dengan simbol tanda bahaya, menggambarkan risiko keracunan pada program Makan Bergizi Gratis (MBG). (podiumnews)

YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Kasus keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi dan memicu perdebatan publik mengenai kesiapan serta keamanan program. Alih-alih meningkatkan status gizi siswa, program yang baru berjalan sembilan bulan itu justru menimbulkan kekhawatiran baru bagi orangtua dan sekolah.

Guru Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof Dr Ir Sri Raharjo MSc, menilai bahwa masyarakat tidak boleh dipaksa menerima program dalam kondisi belum siap. “Sekolah dan orangtua berhak menentukan sikap. Jika merasa program belum siap, mereka bisa menolak dan tidak bisa dipidanakan,” tegasnya di Kampus UGM, Jumat (26/9/2025).

Pernyataan ini muncul di tengah laporan berulangnya kasus keracunan di sejumlah daerah, mulai dari Baubau, Banggai, hingga Garut. Ribuan siswa dilaporkan mengalami gejala mulai dari pusing, diare, hingga harus mendapatkan perawatan medis. Menurut Sri, persoalan utama terletak pada lemahnya pengawasan dan terburu-burunya pemerintah mengejar target besar.

Program MBG yang diluncurkan pada Januari 2025 ditargetkan menyasar 80 juta siswa di tahun pertama. Presiden Prabowo bahkan telah mencanangkan pembangunan 30 ribu unit dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk mendukung distribusi makanan. Namun, dalam praktiknya banyak unit dapur yang belum siap, sementara Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga pengawas dinilai masih kekurangan sumber daya manusia.

“Semakin banyak siswa yang ditargetkan, semakin banyak SPPG yang didirikan. Kalau pengawasan tidak diperkuat, kasus keracunan akan terus berulang. Memasak ribuan porsi dalam waktu singkat berisiko makanan tidak matang merata, atau tercemar bakteri patogen,” jelas Sri.

Ia mengingatkan, kegagalan pengelolaan MBG bukan hanya soal kasus keracunan. Dampak jangka panjang bisa berupa gangguan kesehatan anak, mulai dari turunnya nafsu makan, diare berulang, hingga trauma terhadap makanan sekolah. Semua ini justru bertolak belakang dengan tujuan awal peningkatan gizi nasional.

Lebih jauh, Sri menekankan perlunya payung hukum yang jelas agar program bisa berjalan aman. Ia mencontohkan Jepang yang memiliki undang-undang resmi tentang makan siang sekolah, sehingga aspek keamanan pangan, standar dapur, hingga tanggung jawab hukum lebih terjamin. “Indonesia belum punya regulasi selevel itu. Padahal program sebesar ini sangat rawan masalah jika tanpa dasar hukum yang kuat,” paparnya.

Sambil menunggu perbaikan regulasi dan sistem pengawasan, ia menyarankan agar sekolah maupun orangtua lebih aktif menentukan pilihan. Mereka bisa mengevaluasi kesiapan SPPG di wilayahnya masing-masing, termasuk kapasitas dapur, kualitas bahan, hingga prosedur kebersihan. Bila belum memenuhi standar, hak untuk menolak harus dihormati.

“Tujuannya jelas: jangan sampai siswa menjadi korban dari program yang sebenarnya baik. Gizi itu penting, tapi keamanan jauh lebih penting,” tegasnya.

Kasus keracunan berulang yang menimpa siswa dinilai sebagai peringatan keras bahwa program MBG perlu evaluasi serius. Prof. Sri mendorong pemerintah melakukan pendataan status gizi siswa sejak awal hingga akhir tahun pertama kebijakan berjalan. “Baru setelah itu bisa diukur, apakah program benar-benar berhasil meningkatkan gizi, atau justru meninggalkan catatan pahit,” katanya.

Dengan posisi sekolah dan orangtua sebagai garda terdepan, perdebatan tentang MBG kini bukan lagi soal angka target, melainkan soal hak dasar: memastikan setiap anak mendapatkan makanan yang aman, sehat, dan layak.

(riki/sukadana)

Baca juga :
  • Integritas Diajarkan Lewat Keteladanan, Bukan Sekadar Aturan
  • Pengukuhan Bunda PAUD Badung, Bupati Harapkan Anak-anak Suputra
  • Diskes Denpasar Gelar Cek Kesehatan Gratis Sasar Siswa SD/MI