Podiumnews.com / Aktual / Edukasi

Di Antara Riset dan Kebijakan, Wartawan Menjadi Penjaga Akal Sehat Publik

Oleh Nyoman Sukadana • 29 September 2025 • 19:56:00 WITA

Di Antara Riset dan Kebijakan, Wartawan Menjadi Penjaga Akal Sehat Publik
Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia SIP MA memaparkan pentingnya policy brief sebagai jembatan antara riset dan kebijakan publik dalam Sekolah Wartawan UGM, Senin (29/9/2025). (Dok/UGM)

YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Dalam dunia kebijakan publik, keputusan sering diambil di tengah tekanan waktu dan kepentingan yang berlapis. Di situ letak pentingnya keberanian untuk berpijak pada bukti, bukan sekadar insting. Gagasan itu mengemuka dalam Sekolah Wartawan yang digelar Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Senin (29/9/2025) di Yogyakarta.

Pada sesi bertema Menyusun Policy Brief Berbasis Bukti, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia SIP MA, menekankan bahwa kebijakan yang baik lahir dari proses yang jernih dan terukur. Ia mengingatkan bahwa riset tidak seharusnya berhenti di ruang akademik, melainkan menjelma menjadi masukan yang bisa memengaruhi arah kebijakan publik.

“Policy brief adalah cara paling tepat untuk memberi masukan agar pemerintah bisa segera bertindak,” ujar Alfath.

Ia menjelaskan bahwa policy brief merupakan dokumen singkat berisi analisis dan rekomendasi kebijakan berdasarkan data dan hasil riset. Fungsinya untuk membantu pengambil keputusan memahami persoalan dengan cepat dan memilih langkah yang tepat. Dokumen ini tidak panjang dan tidak bertele-tele, tetapi fokus pada masalah, bukti, dan solusi yang dapat diterapkan.

Menurut Alfath, setiap kebijakan publik selalu lahir dari dilema. Dalam banyak kasus, pemerintah harus memilih di antara dua hal yang sama-sama penting. Ia mencontohkan pembangunan kereta cepat dan pemindahan ibu kota yang melibatkan banyak kepentingan. “Kehidupan kita dihadapkan pada dilema, dan tugas policy brief adalah mengelola dilema itu dengan pijakan bukti,” katanya.

Di negara maju, pengambilan keputusan sering berpijak pada hasil riset dan evaluasi. Namun di Indonesia, prosesnya kerap ditentukan oleh intuisi dan pertimbangan politik. “Problem kita adalah terlalu sering kebijakan dibuat berbasis insting, bukan sains,” ujar Alfath.

Ia juga menekankan pentingnya memahami konteks sosial dalam setiap kebijakan. Sebuah program bisa berhasil di satu tempat dan gagal di tempat lain jika situasinya berbeda. Alfath mencontohkan pendekatan realist synthesis dalam kebijakan penanganan stunting melalui Posyandu. Cara ini tidak hanya menilai penurunan angka stunting, tetapi juga melihat peran kader, dukungan dana desa, serta kepercayaan masyarakat.

Selain faktor riset, politik juga menjadi penentu apakah rekomendasi kebijakan akan diterima atau diabaikan. Karena itu, penyusun policy brief perlu memahami siapa yang memiliki otoritas dan kepentingan dalam pengambilan keputusan. “Policy brief harus diarahkan pada pihak yang punya otoritas dan kepentingan untuk mengubah kebijakan,” ujarnya.

Di akhir sesi, Alfath mengajak peserta untuk menjembatani dunia riset dan dunia kebijakan. Ia menegaskan bahwa wartawan memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan riset bermanfaat bagi publik. Wartawan, kata dia, bukan hanya pelapor fakta, tetapi juga penyampai pengetahuan yang membantu masyarakat memahami persoalan kebijakan secara lebih jernih.

“Kebijakan berbasis bukti adalah wujud keberpihakan kita pada masyarakat,” tutupnya.

Di antara riset dan kebijakan, wartawan memang punya posisi istimewa. Ia bukan pengambil keputusan, tapi ia bisa menjadi penjaga akal sehat publik. Melalui berita yang jernih, wartawan dapat memastikan bahwa setiap kebijakan yang lahir dari ruang kekuasaan tidak kehilangan arah, dan setiap bukti dari ruang riset tidak tenggelam dalam kesunyian akademik.

(riki/sukadana)