Anak, Alergi, dan Lingkungan yang Terlalu Bersih
YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com - Kasus alergi pada anak terus meningkat di Indonesia. Data World Allergy Organization (WAO) mencatat prevalensi alergi secara global mencapai 10 sampai 40 persen dari populasi, sementara Ikatan Dokter Anak Indonesia memperkirakan sekitar 0,5 sampai 7,5 persen anak Indonesia mengalami alergi. Angka nasional terlihat lebih kecil, tetapi tren peningkatan menjadi perhatian karena berdampak pada tumbuh kembang.
Dokter Spesialis Anak Universitas Gadjah Mada, dr Cahya Dewi Satria MKes SpA Subsp AI, menilai kenaikan kasus berkaitan dengan perubahan lingkungan dan gaya hidup modern. Ia menjelaskan bahwa alergi merupakan penyakit bawaan yang dapat diturunkan dari orang tua atau anggota keluarga lain.
“Alergi muncul karena sistem kekebalan tubuh memiliki sensitivitas berlebihan terhadap protein tertentu yang bagi orang lain tidak berbahaya,” jelas Cahya melalui keterangan resmi, Selasa (30/9/2025).
Cahya mengungkapkan bahwa dalam dunia medis terdapat konsep yang dikenal sebagai hygiene hypothesis. Teori ini menjelaskan bahwa anak yang tumbuh di lingkungan terlalu bersih justru lebih rentan terhadap alergi.
“Anak yang sejak kecil hidup di lingkungan dengan paparan mikroorganisme yang beragam cenderung memiliki sistem imun lebih kuat. Sebaliknya, anak yang hidup terlalu steril lebih mudah alergi,” ujarnya.
Ia menambahkan, kebiasaan menggunakan antiseptik secara berlebihan dan jarangnya anak bermain di luar rumah turut berpengaruh terhadap sistem kekebalan. “Hal-hal yang membuat kulit semakin kering, seperti antiseptik, sebaiknya dihindari. Gunakan sabun lembut dan pelembap khusus untuk menjaga kelembaban kulit,” katanya.
Cahya juga menjelaskan pola perkembangan alergi pada anak yang dikenal sebagai Allergic March. “Pada usia dini biasanya muncul sebagai eksim atau dermatitis atopik. Saat anak berusia enam bulan hingga dua tahun, alergi makanan menjadi lebih dominan. Ketika anak memasuki usia sekolah, alergi hirupan seperti rinitis alergi mulai sering muncul,” tuturnya.
Ia menekankan pentingnya membedakan gejala alergi dengan infeksi. “Alergi umumnya bersifat berulang dan tidak disertai demam. Untuk memastikannya, perlu dilihat riwayat keluarga dan pola kronis gejala,” ujarnya.
Menurutnya, diagnosis yang tepat menjadi kunci agar orang tua tidak salah mengambil langkah. Banyak orang tua, katanya, justru membatasi makanan secara berlebihan tanpa dasar medis. “Padahal diet ketat tanpa pengawasan dokter bisa berisiko pada gizi anak dan menghambat tumbuh kembang,” tegasnya.
Cahya juga menyoroti pentingnya pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama dan menghindarkan anak dari paparan asap rokok. “Paparan asap rokok sejak masa kehamilan hingga anak besar dapat meningkatkan risiko alergi. Karena itu, anak sebaiknya benar-benar dijauhkan dari paparan asap,” katanya.
Ia menambahkan bahwa formula susu kedelai tidak terbukti efektif untuk mencegah alergi pada anak. “Pencegahan alergi membutuhkan pendekatan komprehensif, bukan spekulasi. Sebaiknya orang tua tidak mendiagnosis sendiri, tetapi berkonsultasi dengan dokter spesialis,” pungkasnya.
(riki/sukadana)