Podiumnews.com / Muda / Kata Mereka

Stereotip Gender Jadi Penghalang Karir Sains

Oleh Nyoman Sukadana • 12 November 2025 • 19:31:00 WITA

Stereotip Gender Jadi Penghalang Karir Sains
Perempuan di STEM: Berkolaborasi di lab, terhubung daring, membangun masa depan inovatif. (podiumnews)

YOGYAKARTA, PODIUMNEWS.com – Sektor Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematik (STEM) di Indonesia masih menghadapi isu kesenjangan gender yang signifikan. Berdasarkan laporan UNESCO dari International Labour Organization pada 2020, perempuan Indonesia yang bekerja di sektor STEM hanya mencapai 37 persen. Angka ini menunjukkan kontras tajam dengan jurusan seperti kesehatan dan edukasi yang didominasi oleh perempuan, sekaligus menggarisbawahi adanya hambatan struktural dalam pendidikan dan karir di bidang sains.

Dr Suzie Handajani, Antropolog dari UGM, menegaskan bahwa fenomena ini bukanlah kodrat, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang telah mengakar.

“Kalau gender itu buatan manusia, berarti bisa diubah oleh manusia,” lugas Suzie, Rabu (12/11/2025). Ia menjelaskan, stereotip tersebut menjadi salah satu bentuk blind spot yang membuat peran perempuan di ilmu pengetahuan cenderung tersembunyi di balik figur laki-laki sepanjang sejarah. 

Fakta Sejarah dan Kebutuhan Idola Perempuan 

Suzie mencontohkan, banyak penemuan penting dunia lahir dari figur perempuan, seperti Katalin Kariko, ilmuwan di balik pengembangan vaksin mRNA Covid-19, yang menjadi tonggak besar dunia kesehatan. Namun, representasi dan pengakuan terhadap peran tersebut masih minim.

Menurutnya, representasi di media sangat penting agar calon perempuan di bidang sains memiliki panutan dan merasa bahwa jalan yang mereka tempuh bukanlah hal yang mustahil.

“Mereka butuh idola yang perempuan. Mungkin dari situ bisa tumbuh semangat bahwa masalah seperti ini dialami banyak orang di berbagai negara,” ujarnya. Ia menyinggung kemunculan film atau novel seperti ‘Lessons in Chemistry’ yang menjadi pengingat bahwa perjuangan ilmuwan perempuan adalah isu global.

Strategi Komunitas dan Media Sosial 

Untuk mengatasi kesenjangan tersebut, Suzie menyoroti pentingnya strategi penggalangan kekuatan di kalangan perempuan. Salah satunya melalui adaptasi strategi Kartini di masa lalu yang mengembangkan sekolah perempuan, didukung riset bahwa perempuan cenderung lebih unggul secara akademik ketika belajar di lingkungan yang seluruhnya wanita.

Di era modern, komunitas seperti WISE (Women in Science and Engineering) menjadi ruang krusial. "Kumpulnya itu bukan untuk memisahkan diri, tetapi secara strategis menggalang kekuatan, supaya sesama perempuan punya tempat untuk saling curhat dan saling menguatkan,” jelasnya.

Selain itu, media sosial juga dilihat sebagai senjata ampuh untuk membalikkan stereotip. Suzie membayangkan munculnya kanal kreatif seperti ‘cewek di teknik kimia’ atau ‘student moms in STEM’ yang menampilkan keseharian, humor, dan tantangan perempuan di bidang terkait, sehingga calon mahasiswa perempuan memiliki jejaring emosional dan tidak merasa takut menapaki karir yang masih didominasi laki-laki.

Suzie menutup dengan pesan pemberdayaan, mengingatkan bahwa sebagian besar teknologi ditujukan untuk perempuan. "Maka sudah seharusnya perempuan juga ikut membuatnya,” tutupnya, menekankan bahwa pilihan karir yang luas seharusnya memberdayakan, bukan membingungkan.

(riki/sukadana)