SURABAYA, PODIUMNEWS.com – Peristiwa ratusan santri dan simpatisan melindungi MSAT dari jemput paksa aparta penegak hukum, setelah ditetapkannya anak salah kiai Jombang itu dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terkait kasus pencabulan sempat menghebohkan publik, belum lama ini. Lalu bagaimanakah peristiwa itu dipandang dari persepktif hukum? Menurut Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (UNAIR) Taufik Rachman SH LLM PhD dalam keterangannya, Selasa (26/7), menjelaskan bahwa tindakan untuk menghalang-halangi, menyembunyikan, menutupi, mempersulit proses penangkapan, penyidikan yang sah disebut obstruction of justice. Tindakan itu memiliki ancaman pidana hingga maksimal sembilan bulan yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 221 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pertama dan kedua. Selain itu, Taufik juga menjelaskan lebih lanjut tentang perlindungan hukum bagi korban dan saksi hingga pendampingan dan pemulihan korban dan saksi. Dikatakan Taufik, adanya perlindungan, pendampingan, dan pemulihan ini diharapkan korban dan saksi lebih berani untuk menyuarakan kebenaran guna menegakkan keadilan. Perlindungan Hukum Korban dan Saksi “Perlindungan hukum terhadap korban dan saksi sebetulnya sudah ada. Bahkan yang terbaru ada pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Akan tetapi karena kasus ini terjadi pada tahun 2017, otomatis peraturan perundang-undangan yang diberlakukan tentu yang berlaku pada saat kejadian. Salah satunya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,” jelas Taufik. Taufik juga menjabarkan lebih lanjut bahwa hak-hak korban dan saksi dalam kasus ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang telah diperbarui dengan adanya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang memberikan perlindungan terhadap keamanan pribadi, keluarga, harta bendanya, bebas dari ancaman, dan lain sebagainya. Selanjutnya guna menangani kekerasan seksual di Indonesia, juga telah dibentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang memiliki tugas untuk memberikan perlindungan kepada korban dan saksi pidana. Pendampingan dan Pemulihan Korban dan Saksi Akan tetapi, Taufik menilai bahwa terdapat masalah dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebab, sesuai Pasal 6, hanya korban pelanggaran HAM berat yang dapat memperoleh bantuan medis dan rehabilitasi psiko-sosial. Terlebih Pasal 52 ayat (1) huruf r Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan mengecualikan korban tindak pidana untuk mendapatkan bantuan pelayanan kesehatan secara gratis. “Sehingga, satu-satunya jalan yang mungkin bisa ditempuh ialah korban mengajukan hak restitusi atau ganti kerugian kepada pengadilan melalui LPSK. Ini diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU LPSK (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Red),” jelas Taufik. Kemudian, Taufik juga menjelaskan bahwa korban bisa meminta bantuan hukum secara cuma-cuma kepada advokat. Termasuk, mengurus permohonan bantuan kepada LPSK dan advokat wajib membantunya. “Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” terangnya. (dev/sut)
Baca juga :
• Imigrasi Bali Janji Tindak Petugas Terlibat Penculikan dengan Gangster Rusia
• Polda Bali Tangkap Petugas Imigrasi danĀ Gangster Rusia, Kasus Penculikan dan Pemerasan
• Polsek Denpasar Selatan Tangkap Residivis dengan 10 Motor Curian