Gas Melon Langka Mempersulit Rakyat
JAKARTA, PODIUMNEWS.com – Kelangkaan gas LPG 3 kilogram atau gas melon di sejumlah daerah membuat sejumlah pihak merasa geram termasuk politisi nasional yang berkantor di Senayan, Jakarta (DPR RI).
Pasalnya, kelangkaan gas melon yang termasuk kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat kecil ini sudah berulang terjadi. Pemerintah pun diminta segara mengatasi persoalan itu agar tidak makin mempersulit masyarakat.
Untuk itu, Ketua DPR RI Puan Maharani meminta pemerintah mencari akar persoalan kelangkaan gas LPG subsidi di sejumlah daerah yang sudah terjadi sejak beberapa waktu belakangan karena membuat rakyat kesulitan.
"Gas merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat sehingga sudah Pemerintah harus menjamin distribusi LPG bersubsidi berjalan dengan lancar. Program prorakyat jangan sampai mempersulit masyarakat," kata Puan dalam keterangan tertulis, Rabu (26/7/2023).
Akibat kelangkaan tersebut, harga gas LPG melon pun melonjak di pasaran dari yang biasanya Rp 16-19 ribu, kini meroket naik hingga Rp 25 sampai Rp 30 ribu. Puan menilai kondisi seperti ini telah menyebabkan gelombang kekhawatiran rakyat.
“Masyarakat mengeluh karena sangat membebani mereka, khususnya bagi warga kalangan menengah ke bawah. Apalagi banyak warga yang berjam-jam harus antre demi bisa mendapat gas LPG bersubsidi,” ucap mantan Menko PMK ini.
Oleh karenanya, Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini mendesak pemerintah memberi perhatian serius terkait permasalahan kelangkaan gas LPG bersubsidi. Puan juga meminta pemerintah dan stakeholder terkait untuk segera menghadirkan solusi agar kondisi ini tidak semakin lama menyulitkan masyarakat.
"Selesaikan kelangkaan gas LPG ini secepat mungkin. Perlu ada penyelesaian masalah dari hulu ke hilir. Apakah karena kuota yang tidak cukup, atau akibat alasan lain,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Puan juga meminta agar komunikasi antara pemerintah daerah (Pemda), Pertamina, dan distributor gas semakin ditingkatkan sehingga ada solusi yang efektif dalam mengatasi kelangkaan gas LPG bersubsidi.
“Perbanyak operasi pasar, dan cek apakah diperlukan adanya kuota tambahan bagi masyarakat. Terutama di wilayah-wilayah yang mengalami kelangkaan. Kerja sama seluruh pihak terkait sudah pasti harus dimaksimalkan, termasuk penegak hukum. Karena perlu ada penyelidikan untuk beberapa daerah seperti di Toraja yang kenaikan harga gas LPG subsidinya sudah tidak wajar karena mencapai Rp 50 ribu satu tabung,” sambungnya.
Diketahui, gas LPG melon selama ini juga banyak dimanfaatkan warga menengah ke atas, bahkan oleh pelaku industri yang seharusnya tidak boleh ikut menikmati subsidi. Puan menegaskan, gas LPG bersubsidi seharusnya hanya diperuntukkan untuk orang yang kurang mampu.
"Perlu ada kesadaran juga dari masyarakat untuk tidak mengambil yang bukan menjadi haknya,” ujar Cucu Bung Karno ini.
Puan pun mendorong agar sistem pendistribusian gas LPG bersubsidi diperbarui. Menurutnya, harus dibangun sebuah sistem yang lebih baik sehingga hanya warga menengah ke bawah yang bisa membeli gas LPG melon.
"Program subsidi gas LPG tujuannya untuk membantu masyarakat kurang mampu. Jika tidak tepat sasaran maka akan merugikan rakyat kecil. Pertamina dan Kementerian terkait harus memperketat pengawasan di lapangan," tukas Puan.
Pemerintah ‘Super Tega’
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai langkah pemerintah meluncurkan produk LPG 3kg nonsubsidi bermerek Bright dengan harga yang lebih mahal di tengah masyarakat yang kesulitan mendapatkan gas LPG 3 kg bersubsidi, sebagai sebuah tindakan yang ia sebut “super tega” pada masyarakat.
“Kebijakan itu akan membuat pengadaan dan pendistribusian LPG 3 kg bersubsidi semakin terbatas dan sulit. Ujung-ujungnya masyarakat dipaksa membeli LPG 3 kg nonsubsidi,” ungkap Mulyanto dalam siaran persnya, Kamis (27/7/2023).
Ia memperkirakan hadirnya LPG 3 kg nonsubsidi itu akan meningkatkan tindak penyalahgunaan LPG 3 kg bersubsidi oleh pihak tertentu. Mengingat selisih harga jualnya sangat besar. Dimana saat ini Pertamina menjual LPG 3 kg merek Bright seharga Rp56 ribu terbatas di Jakarta dan Surabaya. Sementara gas melon 3 kg bersubsidi sebesar Rp20 ribu.
Dijelaskannya, selama ini salah satu modus penyimpangan gas melon bersubsidi yang ditemukan aparat adalah pengoplosan, yaitu dengan memindahkan isi gas elpiji dari tabung melon 3 kg bersubsidi ke dalam tabung 12 kg non subsidi. Modus ini tidak lain mengubah dari barang bersubsidi dijual menjadi barang non-subsidi yang berharga mahal.
“Adanya produk gas elpiji Bright berwarna pink berukuran 3 kg nonsubsidi ini, yang sama persis dengan gas melon 3 kg bersubsidi, akan semakin memudahkan pengoplosan. Apalagi marjinnya (selisih harganya) besar, mencapai Rp36 ribu per tabung. Pengoplosan bisa semakin marak,” tambahnya.
Menurut Politisi Fraksi PKS ini, dari ukuran gas yang berbeda saja kerap terjadi pengoplosan gas elpiji. Apalagi kalau barang dan ukurannya serupa, hanya merubah warna tabung dari warna hijau melon ke warna pink saja, maka akan berubah dari barang bersubsidi menjadi barang nonsubsidi. Ini tentu semakin rawan.
“Ini kan bentuk dualitas produk. Dimana komoditas yang sama, dijual dengan harga yang berbeda. Yang satu bersubsidi dan yang lain nonsubsidi," jelasnya.
Sebagai informasi, di tengah harga gas LPG dunia yang terus merosot hampir setengahnya sejak puncaknya di awal tahun 2022, harga LPG di Indonesia tetap bertahan. Kenyataan di lapangan malah justru muncul kelangkaan gas LPG 3 kg dengan harga yang melejit. Sebagaimana terjadi di daerah seperti Balikpapan, Makasar, Bali, Banyuwangi, sumbar, dan lainnya. (riki/sut)