Search

Home / Aktual / Kesehatan

Fenomena Stalker Menurut Lensa Psikologi

Editor   |    24 Juni 2024    |   21:26:00 WITA

 Fenomena Stalker Menurut Lensa Psikologi
Ilustrasi stalker. (unsplash)

DI ERA digital, fenomena stalking kini mendapat sorotan serius. Terbaru, fenomena stalker ini berujung pada cyber harassment. Tidak hanya menimbulkan konsekuensi psikologis pada korban, pelaku juga perlu perhatian psikologis.

Tindakan stalking yang kerap dianggap sepele memiliki kompleksitas psikologis dan konsekuensi serius. Dr Tri Kurniati Ambarini M Psi Psikolog, Pakar Psikopatologi Universitas Airlangga (Unair), turut menyoroti maraknya kasus stalker.

Tri menerangkan bahwa proses evolusi dari obsesi menjadi stalker melibatkan beberapa tahapan psikologis. Ia menyebutkan bahwa stalking merupakan salah satu cara untuk menurunkan kecemasan pada pelaku.

“Biasanya stalking menjadi salah satu cara orang tersebut untuk menurunkan kecemasan. Ini dikarenakan pikiran yang terpaku terus menerus pada objek stalking sebagai bentuk kompulsi,” jelasnya seperti dilansir laman Unair, Kamis (20/6/2024).

“Selanjutnya, perilaku obsesi ini akan berkembang ke fase pencarian informasi tentang target. Ketika pelaku telah mendapatkannya, biasanya pelaku akan mulai mengontak dan mengganggu target, bahkan cenderung mengontrol interaksi target,” imbuh Tri.

Dampak Tindakan Stalking

Tri menerangkan bahwa tindakan stalking disebabkan oleh masalah mental yang serius. Menurutnya, stalker mungkin mengalami kecemasan, depresi, atau isolasi sosial karena perilaku mereka yang tidak diinginkan.

Tri juga menambahkan, stalker kemungkinan berkaitan dengan gangguan mental. “Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, gangguan kepribadian paranoid, atau gangguan kepribadian antisosial bisa menjadi faktor yang mendorong seseorang menjadi stalker,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Tri menilai perilaku stalker dapat merusak hubungan personal atau profesional. Hal ini dikarenakan ketakutan dan ketidaknyamanan yang dialami oleh korban.

“Secara keseluruhan, stalking tidak hanya merugikan korban secara langsung. Pastinya, pelaku juga akan memiliki dampak serius dan merusak pada pelaku dalam jangka panjang,” tegas Tri.

Tri juga menyoroti konsekuensi hukum dan dampak pribadi yang mungkin dihadapi oleh stalker. “Stalking dapat menyebabkan konsekuensi hukum serius dan merusak reputasi atau karier pelaku dalam jangka panjang,” ujarnya.

Intervensi dan Dukungan Sosial

Untuk mengatasi masalah tersebut, Tri menyarankan intervensi psikologis individu melalui Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Menurutnya, terapi itu efektif dalam mengobati gangguan obsesif-kompulsif dan gangguan kecemasan terkait.

“CBT membantu pelaku mengubah pola pikir dan perilaku yang tidak sehat terkait dengan obsesi terhadap korban. Terapi eksposur adalah salah satu teknik dari CBT, efektif digunakan pada kasus obsesi kompulsif,” ulasnya.

Lebih lanjut, Tri menjelaskan prinsip dasar terapi eksposur. Yaitu, mengenali obsesi kompulsi, menyusun hierarki obsesi kompulsi, dan mengubah reaksi tiap hierarki menjadi proporsional atau rasional.

Selain CBT, Tri menganjurkan teknik relaksasi, meditasi, dan terapi movement untuk mengurangi stres. Menurutnya, pengelolaan stres yang baik dapat mencegah memperparah tindakan stalker.

Lebih dari itu, Tri menekankan pentingnya dukungan sosial dalam proses pemulihan. “Integrasi dukungan dari keluarga atau teman dalam proses pemulihan pelaku sangat penting untuk mempercepat proses pemulihan,” terangnya.

Di akhir, Tri menekankan pentingnya pendekatan multidisiplin dalam menangani kasus stalking. Hal ini melibatkan psikolog, penegak hukum, dan masyarakat umum untuk memberikan dukungan kepada korban sekaligus intervensi bagi pelaku.

“Dengan intervensi psikologis yang tepat dan dukungan sosial yang kuat, peluang pemulihan bagi pelaku stalker meningkat. Selain itu, hal ini juga memberikan harapan baru bagi korban untuk mendapatkan keadilan dan ketenangan,” tutupnya. (devi/suteja)


Baca juga: Upayakan Kelor Mampu Saingi Ginseng Korea