AKSI pengiriman kepala babi ke kantor redaksi Majalah Tempo, yang secara spesifik ditujukan kepada seorang jurnalis, bukanlah insiden biasa. Tindakan ini merupakan teror yang memiliki tujuan jelas: mengintimidasi, membungkam, dan menciptakan ketakutan. Dalam konteks kebebasan pers, insiden ini adalah serangan frontal terhadap hak publik untuk mendapatkan informasi yang jujur dan berimbang. Mengirimkan potongan tubuh hewan yang secara kultural dianggap menjijikkan adalah bentuk kekerasan psikologis. Ini pesan yang kuat bahwa ada pihak-pihak yang tidak segan menggunakan cara-cara primitif untuk menekan suara kritis. Dalam negara hukum, dimana kebebasan pers dilindungi undang-undang, tindakan ini adalah penghinaan terhadap prinsip-prinsip dasar demokrasi. Ancaman ini tidak hanya ditujukan kepada individu jurnalis yang bersangkutan, tetapi kepada seluruh institusi pers. Tindakan ini menciptakan iklim ketakutan yang bisa menghambat kerja-kerja jurnalistik investigatif. Jurnalis, yang seharusnya merasa aman dalam menjalankan tugasnya, kini harus mempertimbangkan risiko-risiko tambahan. Ini jelas menggerogoti esensi dari pers yang bebas. Lebih dari itu, teror ini juga merupakan serangan terhadap hak publik untuk tahu. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang akurat dan transparan, tanpa campur tangan teror dan intimidasi. Ketika jurnalis takut mengungkap kebenaran, hak publik untuk tahu juga terampas. Pihak kepolisian harus memprioritaskan investigasi kasus ini. Pelaku teror harus ditemukan, ditangkap, dan diadili sesuai hukum yang berlaku. Ini bukan sekadar penegakan hukum, tetapi juga pesan bahwa negara tidak akan mentoleransi aksi teror terhadap pers. Namun, tanggung jawab tidak hanya ada di tangan aparat penegak hukum. Masyarakat juga memiliki peran penting. Dengan bersuara lantang menolak teror dan mendukung jurnalisme yang berkualitas, masyarakat mengirimkan pesan bahwa intimidasi tidak akan berhasil. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap upaya-upaya pembungkaman. Kebebasan pers adalah pilar demokrasi yang tidak bisa dinegosiasikan. Ketika kebebasan ini diancam, demokrasi kita juga terancam. Insiden teror kepala babi terhadap Tempo harus menjadi titik balik, pengingat bahwa kita harus bersatu menjaga kebebasan pers, bukan hanya untuk jurnalis, tetapi untuk kepentingan demokrasi kita semua. (*) Oleh: I Nyoman Sukadana (Pegiat Pers di Bali)
Baca juga:
Bebal