BALI kembali dikejutkan. Bukan oleh gemerlap pariwisata atau desah ombak yang membelai pesisir. Kali ini, Pulau Dewata dipaksa menelan pil pahit, menyaksikan rahim seorang wanita dijadikan brankas kokain. GE, 46 tahun, warga negara Argentina, nekat menyelundupkan 323,76 gram bubuk putih haram itu dalam organ intimnya. Sebuah ironi, ketika kehidupan dan kematian berjarak hanya sehelai kondom dan lakban. Modus vaginal insert yang dipilih GE mengusik nalar. Betapa tidak, di balik wajah ayunya, seorang penata rambut ini menjelma menjadi kurir narkoba. Ia bertaruh nyawa demi imbalan 3.000 USD, upah yang mungkin dianggap sepele bagi para bandar besar. Lalu, siapa penerima barang haram itu di Bali? Pertanyaan ini menggelayuti benak, memicu spekulasi tentang jaringan narkotika internasional yang mungkin saja telah lama mengakar di pulau ini. Keberhasilan Bea Cukai Ngurah Rai patut diapresiasi, namun tak boleh membuat kita terlena. Pengawasan ketat yang dilakukan petugas menguak sisi kelam Bali, yang selama ini dibalut citra surga dunia. Bandara Ngurah Rai, pintu gerbang internasional, ternyata juga menjadi celah bagi para penjahat narkoba. Kasus GE bukan insiden tunggal. Ia adalah gejala dari permasalahan yang lebih besar, yakni lemahnya pengawasan dan kuatnya godaan bisnis narkotika. Bali, dengan jutaan wisatawan yang datang setiap tahun, menjadi pasar potensial bagi para pengedar. Lalu, seberapa efektifkah pengawasan di bandara? Seberapa dalam jaringan yang melibatkan GE? Kita tak boleh berdiam diri. Bali adalah etalase Indonesia di mata dunia. Jika etalase ini ternoda, citra bangsa pun ikut tercoreng. Aparat penegak hukum harus bertindak cepat dan tegas, membongkar jaringan narkoba hingga ke akar-akarnya. Masyarakat pun harus ikut berperan aktif, menjadi mata dan telinga bagi aparat. Jangan biarkan Bali menjadi sarang narkoba. Mari kita jaga pulau ini dari cengkeraman barang haram, demi masa depan generasi penerus. (*)
Baca juga:
Sasar Turis Berkualitas